Thursday, May 25, 2006

Singapura: Bayang dan Kenyataan

Saya banyak bertanya pada teman-teman tentang cara mudah untuk masuk ke negeri Tamasek ini. Bejibun informasi yang diberikan, tapi justeru dihadapkan pelbagai pilihan. Pukul 7 kami berangkat dari Terminal Larkin dengan bis BBS. Herannya, karcisnya cuma RM 1.70. Tiba-tiba, saya sudah diperlihatkan penumpang yang antri naik dengan teratur, sehingga serentak saya membayangkan bahwa ini adalah awal dari budaya tertib negeri Singa ini.

Perjalanan terhambat karena saya dengan Mas Tauran mesti mengecap paspor keluar dari Malaysia dan mencari bis dengan perusahaan yang sama untuk melanjutkan tour ini. Karena pertama kali masuk, di imigrasi, kami ditanya maksud kedatangan. Bermodal surat keterangan dari Kampus USM untuk mengunjungi Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) dan National University of Singapore, tak lebih dari sebelas menit kami melenggang mencari bis menuju stasiun Queen Street. Di dalam bis, di belakang kami tiga anak Jakarta yang jalan-jalan ke kota denda (Fine City). Saya tahu keduanya keturunan Cina, tapi logat Betawinya medok. Dengan senang, mereka memberitahu tempat murah untuk menginap, "Coba aja di sekitar Jalan Arab."

Ups, di tengah jalan kami melihat pemutaran film di tanah lapang, seperti layar tancap atawa misbar di Indonesia, yang sedang menayangkan film India. Saya rasa di sini memang kawasan pekerja India. Kami sempat ke hotel murah yang bisa dihuni enam orang, tapi karena ingin lebih leluasa, kami berbalik ke hotel $ 40 semalam. Setelah mandi, kami beranjak untuk menelusuri Jalan Orchad. Meski jauh dari tempat penginapan, kami bergegas untuk segera menikmati malam di Singapura.

Orang banyak menyebut jalan ini tempat yang harus dilewati jika melawat Singapura. Karena udah tengah malam, saya hanya melihat beberapa orang yang masih bergeming untuk bersahabat dengan dingin malam. Sepanjang jalan Orchard hanya temaram lampu dan gedung yang berdiri angkuh. Hanya dua toko masih buka. Kami berdua berhenti sejenak untuk membeli oleh-oleh cenderamata. Lalu, melanjutkan perjalanan mengukur tapak yang membuat kaki pegal.

***

Esok paginya, kami berdua ke ISEAS untuk mencari bahan. Kebetulan lembaga ini berada di areal Universitas Nasional Singapura yang menduduki tempat ke 22 di dunia (Times Supplement, 2005). Tempat yang asri membuat kami betah. Apalagi, mereka berlangganan koran negara Asia Tenggara. Untuk Indonesia, mereka berlangganan KOMPAS, Republika, dan Media Indonesia. Bahkan, kami juga sempat berbincang dengan Senior Research Fellow Dr. Aris Ananta yang udah tujuh tahun berada di Singapura. Keindonesiaan benar-benar menjadi pengikat emosi dan intelektual untuk bertegur sapa dan akhirnya membincangkan kondisi tanah air. Beliau mengungkapkan istilah brain drain, untuk mengukuhkan sumbangsih perantau Indonesia terhadap negerinya.

Jalan pulang adalah kebingunan tersendiri. Udah dua kali naik bis umum untuk pergi ke Stasiun Queen Street, tapi gagal. Kami seperti masuk labirin. Bahkan, ada anak India yang berbaik hati untuk menunjukkan jalan ke terminal, tapi di pom bensin, kami gagap karena dua penjaganya menyarankan naik taksi saja. Di tengah gerimis, kami naik bis lain ke stasiun kereta bawah tanah, tapi tidak jadi karena memilih taksi sebab khawatir terlambat sampai Johor. Taksi Comfort menjadi pilihan (tel. 6550 8515). Supirnya Cina yang baik karena meminta kami untuk memilih: jalan memutar atau lurus tapi harus membayar $ 1 untuk melewati jalur sibuk (Peak Time). Akhirnya, kami sampai di terminal. Dengan tiket $ 2.40, bus Singapore Johor Express melaju membelah malam. Tapi, akhirnya kami juga sampai ke terminal Malaysia untuk melanjutkan jalan pulang Pulau Pinang.

No comments:

Puasa [18]

Menelusuri IG, saya sering bersirobok dengan lagu-lagu Timur Tengah. Karena sering klik untuk menikmatinya, saya pun bertanya, mengapa saya ...