Gempa yang meruntuhkan sebagian daerah Yogyakarta ini menimbulkan ingatan yang pejal. Ia tidak hanya mengingatkan gempa kecil ketika saya masih berada di kota ini. Bahkan, pada suatu masa, saya melihat cahaya kemerahan dari lava tahun 1994 dan akhirnya menyemburkan letusan hebat.
Lalu, kemarin saya meminjam dua novel tentang Yogya yang ditulis oleh N Morewo, Pulang dan Satu Hari di Yogya. Saya berharap saya lebih mengenal kedalaman, bukan permukaan dari hiruk-pikuk kehidupan lapisan bawah. Ternyata, banyak kehidupan mahasiswa yang tak sempat mampir di benak saya. Benar-benar pengingat yang berharga untuk memikirkan kembali 'peran' yang setengah hati. Mereka telah berebut 'jatah' hidup dengan kemiskinan.
Lalu, apa yang akan saya ceritakan tentang diri ketika di Yogya?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Ruang Baca
Saya meletakkan pesan Pak Musa Asy'arie di loteng, tempat kami menyimpan buku. Berjuang dari Pinggir adalah salah satu karya beliau yan...
- 
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
 - 
Ke negeri Temasek, kami menikmati nasi padang. Kala itu, tidak ada poster produk Minang asli. Pertama saya mengudap menu negeri Pagaruyung ...
 - 
Ahmad Sahidah lahir di Sumenep pada 5 April 1973. Ia tumbuh besar di kampung yang masih belum ada aliran listrik dan suka bermain di bawah t...
 
No comments:
Post a Comment