Gempa di Yogyakarta membuat miris kita. Lalu, bagaimana mereka menghadapinya untuk menolak ini semua? Menggunakan Janur kuning. Tapi, Buya Syafi'ie menampik praktik semacam ini. Pendidikan dan pencerahan perlu disusupkan agar mencegah 'perbuatan' klenik. (lihat tulisannya berjudul Musibah di http://www.gatra.com/artikel.php?id=95321).
Tanggapan saya:
Janur kuning itu hanya simbol untuk tegar menghadapi musibah, sebagaimana simbol 'Allah' untuk tabah menjalani ujian hidup. Lalu, kenapa mereka memilih janur kuning, tidak Allah, lagi-lagi ini sebuah kemenangan kearifan 'lokal' atas 'global'. Mari, melihat peristiwa ini dari pelbagai perspektif. Mungkin, janur kuning itu perlu dimaknai lebih metaforik, bukan kasat mata. Sebab, orang awam hanya ingin lari dari kenyataan yang pahit.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Bahasa Jawa
Dengan belajar bahasa Jawa, Zumi merawat akarnya sebagai keturunan Kebumen. Sayangnya, ia masih enggan untuk menggunakan bahasa Jawa, meskip...

-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Rindu itu adalah perasaan akan sesuatu yang tidak ada di depan mata kita. Demikian pula, buku itu adalah jejeran huruf-huruf yang menerakan ...
-
Pikiran Rakyat , 11 Maret 2010 Oleh Ahmad Sahidah Polisi berhasil menembak mati teroris. Selayaknya, keberhasilan ini patut mendapatkan peng...
No comments:
Post a Comment