Friday, June 09, 2006

Dominasi Jawa


Sebuah catatan tentang Perdebatan di PPI Malaysia

Kalau kita mau secara jernih membaca kritik tajam Syahputra, maka harus diakui bahwa tulisan tersebut dibuat dengan sungguh-sungguh dan kepiawaan yang cukup untuk melakukan ‘pemiskinan’ nasionalisme karena menyoal ‘penjajahan’ Jawa terhadap etnik lain, seperti Minang dan Banjar. Bukankah Soeharto telah mempraktikkan ‘cara’ jawa untuk memimpin Indonesia? Tidak hanya dari artikulasi ide, seperti ‘ora pateken’ (ketika dia mengomentari lawan-lawan politiknya untuk mengundurkan diri), ‘mikul dhuwur mindem jero’, dan lain-lain, tetapi juga upaya penyeragamaan ‘struktur’ pemerintahan dengan mengabaikan tradisi lokal.

Tapi, sayang, kebanyakan anggota milis justeru secara emosional menanggapi substansi masalah yang diajukan tokoh yang bermukim di Swedia ini. Kita telah kehilangan nalar kritis untuk menanyakan 1. Kenapa tiba-tiba muncul masalah ini dimilis 2. Latar belakang pengarang 3. Konteks karangan dan hubungan dialektika antara pengarang dengan PPI, Keindonesiaan dan Kemanusiaan. Oleh karena itu, pertanyaan Mas Hadi agar tokoh anti-Jawa ini memperkenalkan diri adalah usulan yang cemerlang sehingga dari forum ini lahir sebuah dialog yang cerdas tentang hakikat keindonesiaan kita.

Kehadiran tiba-tiba isu ini ke dalam milis boleh jadi melahirkan dugaan yang tidak semestinya jika dikaitkan dengan masalah yang mendera PPI kali ini. Bahkan, ketidaktahuan kita akan identitas pengarang makin mengaburkan kita melihat esensi kritik yang perlu direnungkan lebih dalam dan dipahami secara arif. Celakanya, kita terbawa ‘gaya’ langsung-tembak (straightforward) Syahputra dalam menanggapi masalah. Dan terakhir, konteks karangan ini perlu dihadirkan untuk melengkapi ‘gugatan’ penulis terhadap dominasi Jawa (data lengkap telah ditulis) dalam dunia politik dan militer.

Mungkin, pengungkapan kritik Syahputra menjadi kontra-produktif karena melakukan generalisasi bahwa orang Jawa itu ‘monster’. Coba lihat dengan jernih salah satu tokoh kita ini. Pramodya Ananta Toer, penulis calon Hadiah Nobel, dengan lantang mengkritik feodalisme Jawa karena menghambat kemajuan. Meskipun lahir sebagai orang Jawa (Blora), dia tidak menunjukkan fanatisme terhadap tanah kelahirannya karena beliau mengabdikan pada sebuah nation-state yang bernama Indonesia. Tetapi, apakah ia dihujat banyak orang karena pemikirannya melampaui primordialisme kedaerahan? Tidak. Sebab, sudut pandang keindonesiaannya memungkinkan adanya kritik internal terhadap praktik-praktik yang menghalangi terwujudnya kesetaraan.

Mengacu pada kontrak sosial J.J. Rosseau, setiap warga Indonesia mengandaikan sebuah komunitas yang menjamin keragaman sebagai sebuah keniscayaan. Tapi, sayangnya, ‘kebersamaan’ ini riskan retak. Sebab, seperti Ben Anderson tegaskan, komunitas kita adalah masih dalam ‘tingkat’ bayangan bukan kenyataan. (Baca: Imagined Communities yang ditulis Indonesianis ini). Hal ini dikarenakan keragamaan bangsa kita seperti bentangan dari Tehran sampai Inggeris, betapa majemuknya.

Namun demikian, anasir separatisme gagasan yang menghinggapi sebagian warga Indonesia di Luar negeri tidak perlu dilihat sebagai ‘ancaman’, tetapi sebagai kritik sangat tajam agar kita belajar untuk memberikan kesempatan yang ‘adil’ terhadap pelbagai kelompok di tanah air. Akhiri monopoli kekuasaan pada satu etnik!

Oleh karena itu, moderator tidak perlu gegabah untuk mengeluarkan keanggotaan Syahputra, tetapi meminta beliau untuk ‘mengemas’ kritiknya dalam bingkai ‘yang lebih santun’ dan ‘menghargai’ perbedaan.

Akhirnya, adalah terbuka lebar bagi teman-teman untuk menilai kembali ‘pokok’ pikiran yang telah dituangkan dalam milis ini dari saudara kita sendiri yang sedang berada di negeri Swedia. Tentu saja, saya sendiri masih menunggu ide bernas lain dari beliau.

Mungkin, teman kita yang anti-Jawa ini perlu mengenal lebih dalam tentang keragaman Jawadwipa ini. Misalnya, buku Geertz yang membahas the Religion of Java bisa dijadikan acuan untuk tidak 'pukul rata' memvonis manusia yang ada di dalamnya.

Sapere Aude! [Berani berpikir mandiri]

Ahmad Sahidah
Madura-Jawa
Pelajar USM

No comments:

Majemuk

Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...