Friday, February 16, 2007

Merebut Makna, Menuai Bencana

Oleh Ahmad Sahidah

Setelah era reformasi, bangsa Indonesia secara tidak sengaja telah membuka kotak Pandora. Kita sepertinya menunda potensi konflik dan akhirnya mewujudkannya menjadi ledakan kekerasan. Banyak daftar telah disuguhkan tentang ‘drama’ pertengkaran etnik, agama, dan partai.

Era kebebasan yang ditandai dengan keterbukaan pers, sistem pemilu multi-partai, otonomi daerah dan tumbuh-subur organisasi kemasyarakatan berbasis agama dan etnik tidak mampu mewujudkan mimpi indah tentang kesejahteraan. Masyarakat akar rumput justeru makin terjepit, meskipun pilihan politiknya disediakan karpet merah.

Keruntuhan otoritarianisme membuka peluang bagi setiap unsur masyarakat untuk memperebutkan makna sebagai warga yang peduli, tentu saja dengan artikulasi politik dan sosial yang berbeda. Mereka berduyun-duyun mendatangi gelanggang dengan segala simbol dan bendera. Tapi, sayang, semua mengabaikan aturan main.

Keadaan di atas diperparah oleh kegagalan pemerintah untuk mengatasi centang-perenang kehidupan ekonomi masyarakat. Kritik berseliweran dan anehnya justeru menambah parah kemacetan. Ketidakpastian semacam ini menambah frustasi rakyat hingga ke titik nadir. Mungkin, sebentar lagi kelelahan akan menghinggapi mereka yang putus asa. Secara psikologis, keputusasaan akan melahirkan kelabilan emosi.

Sayangnya, kepastian datang dari kelompok primordial, yang mengingkari keragaman. Janji-janji ditebarkan tentang kehidupan yang damai-sentosa dengan menggasak kemajemukan. Kecenderungan pemaksaan kehendak dianggap sebagai tugas mulia dengan membonceng ayat-ayat Tuhan. Tokoh agamawan yang seharusnya tampil sebagai sosok menyejukkan, datang dengan wajah beringas dan garang. Mulutnya keluar api, bukan air.

Menuju Kontrak Sosial Baru

Sebagai bangsa, konsensus yang disepakati adalah kebhinnekaan. Meskipun kesepakatan ini lahir dari ‘perseteruan’ panjang antara kubu nasionalis-sekuler dan nasionalisme religius, namun akhirnya dicapai jalan tengah, yaitu praktik sekulerisme murni ditolak dan tidak mengadopsi model teokrasi sebagai pijakan bernegara. Lembaga keagamaan yang dibiayai negara, Depag dan IAIN (sekarang UIN) adalah contoh konpensasi dari konsensus minimal ini. Meskipun, sebagian masyarakat lain melihat hal ini sebagai bentuk diskiriminasi selektif.

Namun berjalan seiring waktu, fundamentalisme religius muncul ke permukaan. Transfer dana dan pengetahuan dari luar telah memungkinkan mereka mengimpikan alternatif bagi ideologi negara. Kegagalan bangsa ini menuju negara-kesejahteraan disebabkan mandulnya konstitusi tidak bisa dijadikan alasan dengan menyodorkan bentuk lain, yang mengabaikan ‘universalitas’ nilai dan moral.

Gegap gempita menyuarakan tegaknya nilai agama tertentu secara formal tak lebih daripada komoditas untuk meraih simpati dan mendulang suara pemilihan untuk raihan jabatan publik, baik formal maupun informal. Ini tidak hanya meninabobokkan masyarakat kebanyakan, yang semestinya diberi pilihan yang lebih banyak, lebih terbuka dan mencerahkan. Ada upaya untuk ‘menyeragamkan’ bentuk-bentuk keagamaan dalam wadah tunggal.

Sebenarnya pluralisme ‘pendapat’ telah dipraktikkan oleh para ulama sejak dahulu kala. Sayang, kenyataan ini dibekap untuk menegakkan otoritas yang berpusat pada feodalisme pemikiran. Hierarki ingin ditegakkan dengan menyodorkan ‘tokoh’ dengan sederet gelar yang dekaden.

Makna Menentukan Referensi

Sebagai ideologi terbuka, Pancasila membuka ruang untuk ditafsirkan. Ironisnya, ini dijadikan pembenaran untuk memasukkan penafsiran yang eksklusif, yang tampak sulawan dengan hakikat inklusif dari Pancasila itu sendiri. Ketika ide sepihak menghalangi terbentuknya masyarakat yang menjunjung harmoni, maka dengan sendirinya ia tidak bisa diajukan sebagai ‘norma’ bersama.

Kalau kita lihat secara cermat bahwa kata-kata yang terkandung dalam butir-butir Pancasila tidak bisa ditafsirkan begitu saja. Makna yang ada di balik kata-kata verbal memerlukan kehadiran konteks dan referensi. Penegasan dua hal yang terakhir sanga penting agar pemahaman yang utuh muncul.

Konteks di sini adalah ‘pertengkaran’ antara kaum nasionalis dan religius. Meskipun, akhirnya kedua kelompok ini berdamai dengan kerelaan kelompok terakhir menghilangkan tujuh kata pada sila pertama, namun rujukan tiap yang dijadikan pandangan dunia (weltanschauung) tetap berbeda sehingga maknanya juga tidak akan sama.

Makna ketuhanan dari masing-masing agama akan direalisasikan dalam keseharian. Tak perlu disahkan oleh pernyataan di atas kertas, yang justeru mencederai ketulusan dan keikhlasan. Piagam Madinah Nabi hanya mengatur perlindungan politik dan tidak mencampurni kehidupan agama masyarakat yang terikat dengan perjanjian ini. Meskipun para tataran teologi, mereka tidak bisa disatukan, tetapi pada kehidupan sosial tidak ada tembok pemisah untuk berinteraksi. Bahkan Umar, sahabat Nabi, pernah shalat di gereja dalam salah satu kesempatan. Sebuah contoh yang terang-benderang bahwa tempat ibadah agama-agama adalah suci. Bahkan, di dalam keadaan perang pun, Nabi melarang untuk dihancurkan.

Oleh karena itu, sikap sebagian kelompok keagamaan yang menyandera kelompok agama tertentu untuk memiliki gereja adalah sebuah kesalahan yang nyata. Dua teladan yang disebut di atas lebih daripada bukti yang cukup untuk kembali meninjau ulang kebijakan yang mengebiri terhadap pendirian gereja.

Selain itu, dalam tradisi keagamaan, perbedaan pendapat adalah sebuah keniscayaan. Hal ini sudah berlaku sejak Nabi mengabarkan pesan Tuhan kepada manusia tempat beliau berdakwah. Ini dapat dilihat bagaimana, para sahabat Nabi berseberangan dalam satu persoalan. Jadi, penghakiman terhadap keberadaan satu ‘aliran’ sebagai sesat tidak mempunyai dasar yang kokoh, baik atas dasar teks mahupun fakta sejarah.

Meskipun Amin Rais pernah berujar bahwa kelompok ‘keras’ ini hanya satu persen, tetapi kehadirannya yang acapkali melahirkan konflik meluas, maka perlu mediasi agar pemahaman ‘sempit’ ini tidak menyeret orang awam untuk terbujuk oleh kata-kata manisnya. Negara, Organisasi keagamaan dan tokoh-tokoh berpengaruh perlu juga turun tangan agar sikap serba mutlak mereka tidak menjalar dan menjadi keyakinan publik.

Malangnya lagi, politik telah menceraiberaikan mereka yang diharapkan menjagi pengawal dan penjaga terbentuknya masyarakat madani (civil society). Politik yang seharusnya dimaknai sebagai arena siapa mendapatkan apa dan kapan, telah dimanipulasi dengan memasukkan pelbagai legitimasi, seperti agama, etnik dan kelompok. Sudah saatnya, emosi primordial tidak lagi dijadikan kendaraan untuk memuaskan kepentingan sesaat.

Ahmad Sahidah, Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Kandidat Doktor Kajian Peradaban Islam Universitas Sains Malaysia

No comments:

Mainan

Mengapa anak perempuan bermain masak-masakan dan anak lelaki mobil-mobilan? Kata tanya mendorong mereka untuk berpikir. Pada gilirannya kita...