Saya mencoba mengulang kembali apa yang dilakukan dulu di pondok selalu shalat berjamaah. Tentu, saya bertanya, ada apakah gerangan? Apakah hanya sekadar 'lari' dari rutinitas diam di kamar sambil membaca dan menelusuri dunia maya agar kepala tidak berdenyut karena penat? Atau penuh harap akan mendapat berkah yang lebih banyak ketimbang shalat sendiri?
Apapun alasannya, saya hanya ingin menikmati bertemu orang-orang yang di dahinya tampak cahaya. Saya melihat beberapa di antara mereka yang kerapkali hadir ke surau asrama tampak jernih dan bening. Tak jarang mereka tersenyum ramah. Mungkingkah karena ini rumah Tuhan yang membuat suasana akrab ini hadir?
Sementara, saya juga ingin berbuat sesuatu yang sederhana yang memungkinkan sebuah kegiatan bersama tidak mati. Meskipun suara tidak semerdu muazin ternama, saya kadang melantunkan azan. Malah, saya sangat bersemangat melaungkan iqamah, pertanda shalat akan dimulai. Dalam pandangan saya, ini adalah peran kecil, yang mungkin tidak akan melahirkan perubahan apapun, tak lebih dari rutinitas. Bahkan, meskipun saya tidak hadir, mereka tetap bersembahyang. Surau itu tidak akan roboh. Lalu, apa gunanya kehadiran saya?
Demikian juga, gagasan-gagasan saya yang ditulis di media, apakah ia akan mengubah keadaan? Toh, meskipun saya  menulis, keadaan juga tidak serta merta bertambah baik. Lalu, dari mana sebenarnya perubahan itu lahir? Pertanyaan ini sering menggelayuti benak. Tidakkah lebih baik diam? Dunia tidak akan kiamat, hanya karena saya diam atau bersuara.
Mungkin, besok saya akan menemukannya jawabannya. Sekarang, jarum jam menunjuk angka 12, mata ini harus terpejam agak esok bisa bangun lebih awal.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Ruang Baca
Saya meletakkan pesan Pak Musa Asy'arie di loteng, tempat kami menyimpan buku. Berjuang dari Pinggir adalah salah satu karya beliau yan...
- 
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
 - 
Ke negeri Temasek, kami menikmati nasi padang. Kala itu, tidak ada poster produk Minang asli. Pertama saya mengudap menu negeri Pagaruyung ...
 - 
Ahmad Sahidah lahir di Sumenep pada 5 April 1973. Ia tumbuh besar di kampung yang masih belum ada aliran listrik dan suka bermain di bawah t...
 
No comments:
Post a Comment