Pagi ini, saya merasakan semangat membuncah setelah tulisan saya yang dikirim ke Jawa Pos satu hari sebelumnya dimuat. Asal muasal karangan bertajuk "Kemenangan Badawi dan Gugatan Oposisi" adalah reaksi spontan setelah mendengar kemenangan oposisi, Barisan Alternatif, di beberapa negeri Bagian, seperti Pulau Pinang, Kedah, Perak dan Selangor. Radio Era FM mengulang-ulang berita ini dalam siaran pagi.
Lalu, saya berusaha mengumpulkan pelbagai informasi yang berserak di kepala dan memburu berita di koran lokal, Utusan dan media Partai Islam se-Malaysia, Harakah Daily. Dari kedua sumber ini, adalah cukup untuk menulis sebuah artikel. Dengan sebelumnya sarapan mie telor dan ditambahi teh panas, pagi itu saya mulai mengetik menyusun paragraf. Ya, sekali duduk opini itu pun selesai.
Di hari Minggu itu sebenarnya banyak peristiwa yang mungkin tak lebih dari pengulangan. Kebiasaan membawa seember pakaian ke mesin cuci lantai bawah dan lalu meninggalkannya untuk menunainkan shalat Subuh berjamaah adalah semacam ritual. Saya tidak pasti apakah pakaian itu cukup leluasa diputar oleh mesin karena hampir memenuhi seluruh ruang kosongnya. Detergen dan air mungkin hanya membasahi tanpa mempunyai ruang gerak yang memadai untuk menggilasnya.
Sehabis shalat, saya beranjak ke bawah untuk mengisi ulang botol besar dengan air di kantin. Hanya dengan RM 1, saya telah mendapatkan hampir 5 liter air. Harga yang cukup murah dibandingkan membeli air mineral yang dikemas oleh pabrik. Di sela-sela menunggu air penuh, saya merasakan udara pagi itu menyegarkan. Suasana masih sepi. Saya merasa bisa mereguk habis udara yang berkeliaran bebas itu.
Kemudian saya kembali ke ruang mesin cuci untuk mengambil cucian. Kedua tangan ini menenteng dua beban, satu ember yang penuh pakaian dan satunya botol berisi air. Setelah di lantai sembilan, saya meletakkan ember itu di pintu masuk dan memulai memasak mie telur. Ups, di telepon genggam tertera misscalled. Setelah dicek, Pak Isyam memanggil untuk main tenis. Namun di hari itu saya tidak turut serta Pak Zainal dan Pak Isyam bermain tenis di stadion.
Seperti minggu-minggu sebelumnya, saya selalu menantikan kolom-kolom cerdas beberapa surat kabar Indonesia, seperti Asal-Usul, Seni (KOMPAS), Buku (Jawa Pos), Budaya (Seputar Indonesia), Sastera dan Pustaka (Republika) dan secara sambil lalu berselancar di media dunia maya, seperti Detik, Gatra, Tempointeraktif, dan beberapa koran lokal.
Duh, sinar matahari mulai menerpa pepohonan. Saya beranjak dari kursi untuk menyidai baju di tali jemuran yang saya buat sendiri di balkon. Meskipun saya harus melompati tembok pagar, saya merasa puas karena baju basah itu akan diterkam panas. Berbeda dengan jemuran yang dibuat oleh pihak asrama yang tak disapa panas.
Sambil menunggu pakaian kering, saya kembali menekuni opini yang telah menemukan draft kasar. Kadang jemari ini mengalir mengikuti derasnya ide, namun tak jarang mengkeret karena berdesakannya gagasan. Tetapi, saya harus memilih, mana yang lebih utama untuk ditulis. Akhirnya satu opini selesai.
Jam 1, saya pergi ke bilik Pak Isyam untuk mendengarkan secara langsung perkembangan politik Malaysia dari televisi. Berita TV 1 memberikan liputan hasil pemilu, namun stasiun milik pemerintah ini belum memberikan porsi yang lebih banyak untuk partai oposisi. Sambil menikmati siaran, Pak Isyam menyuguhkan kacang dan kudapan kue berwijen. Saya merasakan pihak stasiun penyiaran tidak siap menampilkan hasil pemilu ke-12 karena pembangkang atau oposisi berhasil merebut beberapa negeri bagian secara meyakinkan.
Lalu, jam 1.30, saya kembali ke kamar untuk siap-siap ke surau menunaikan shalat zuhur. Di sana, untuk ke sekian kalinya saya berada di belakang imam yang berasal dari Indonesia. Dari wajahnya yang teduh, beliau sepertinya telah menemukan hidupnya, sementara saya masih harus melawan pelbagai paradoks yang acapkali muncul di kepala tentang makna hidup.
Kembali dari surau, saya mengambil jemuran. Ada beberapa yang belum kering, namun saya tetap mengambilnya agar tidak 'buram' karena terpanggang matahari. Di kamar, saya merancang untuk melakukan banyak hal, di antaranya mencetak opini di bilik Karel, mereparasi printer dan memotong 'celana' yang kepanjangan di kedai jahit.
Meski terik, saya tetap melaju dengan motor ke Sungai Dua. Sayang, Mind Maker tidak menerima reparasi printer. Namun, saya sempat bertanya ke penjaganya harga printer Canon 1880, dia jawab RM 168. Setelah menyatakan terima kasih, saya keluar dan kembali 'mengayuh' sepeda motor Suzuki cooled ke Bukit Jambul untuk membeli printer baru. Ternyata di sana, harganya lebih murah RM 150. Sekalian saya mengantarkan celana untuk dipermak.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Murid Sunan Kalijaga
Bertemu dengan Mas Zainul Abas di Jember. Setelah sekian lama tak bersua, kami tetap menyatu di bawah guru Sunan Kalijaga. Meskipun cuma seb...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...
No comments:
Post a Comment