Ahmad Sahidah Kandidat Doktor Departemen Filsafat dan Peradaban Universitas Sains Malaysia
Kekayaan pandangan ini akan membuat kita lebih jernih melihat masalah yang sedang dihadapi umat. Meski demikian, gagasan untuk menilai agama dari ajaran dirinya akan mengantarkan kita pada kekayaan pemikiran yang telah melahirkan semangat untuk membela kemanusiaan.
Bahkan, politik pun turut merayakan keagamaan dengan penuh ingar-bingar. Di sini ada kelompok yang menggunakan legitimasi agama, baik secara terangan-terangan maupun tersembunyi. Demikian pula ditemukan kelompok yang ingin menjaga kesucian tradisi karena dianggap warisan nenek moyang dan perlu dipertahankan berdasarkan kepercayaan pada kearifan lokal. Padahal, di balik itu ada pengekalan kekuasaan dan kekhawatiran tergerus oleh gelombang baru yang akan meminggirkan perannya di tengah masyarakat.
Ya, benar apa kata Jürgen Habermas bahwa ada kaitan erat antara pengetahuan dan kepentingan. Akhirnya, jalan pulang dipenuhi kerikil tajam. Mereka sering berkelahi dengan sesama di tengah jalan dan bahkan menumpahkan darah.
Upaya untuk berdamai memang telah dilakukan. Tidak jarang dengan pernyataan bersama yang disorot wartawan. Lalu, berita menyiarkan bahwa mereka bergandengan tangan untuk menyongsong masa depan. Tapi, sebagian menggumam ragu bahwa mereka adalah pengawal agama yang selalu terjebak pada perebutan kekuasaan.
Islam sederhana
Tapi, kita tentu heran karena mereka yang menjadi pemimpin menabung begitu banyak uang di tengah kesulitan rakyat yang menganga dan putus asa. Begitu banyak umat dibujuk untuk turun jalan atau memenuhi masjid untuk membikin pernyataan bahwa Islam menginginkan ini dan itu.
Kita pun tahu acara seremonial semacam ini juga memerlukan dana besar. Jelas-jelas ini kesia-siaan. Padahal, di luar sana banyak umat yang memerlukan uang untuk makan, biaya sekolah, dan ongkos kesehatan. Jumlah 87 persen umat di dalam statistik adalah bukti cukup bahwa kita adalah besar dan tak perlu ditunjukkan dengan teriakan di jalanan. Sekarang kita memerlukan pemimpin yang menguras tabungannya untuk kebajikan. Demikian pula umat tak perlu lagi tergoda untuk sering berkerumun di jalan.
Perayaan keagamaan lebih dari cukup untuk berkumpul menguatkan komitmen bagaimana mengentaskan kebodohan dan kemiskinan yang melilit umat. Malahan, energi yang melimpah itu seharusnya mendorong umat untuk rajin berjamaah agar masjid-masjid tidak menjelma menjadi kuburan, tanpa direcoki propaganda untuk gagah-gagahan.
Oleh karena itu, kewajiban setiap Muslim adalah memakmurkan masjid tempat dia tinggal. Mungkin di sinilah kita akan menemukan ruang di mana satu sama lain berbagi, bagaimana menyoal masalah yang sedang dihadapi di lingkungannya berkaitan dengan ketersediaan pelayanan pendidikan dan kesehatan. Fungsi masjid tak lagi dibekap sebagai tempat ibadah, tetapi juga kegiatan sosial.
Tambahan lagi, kita memerlukan lebih banyak lagi sekolah model MTs Sururon di Jawa Barat yang menjawab masalah sekitarnya. Sekolah yang membebaskan biaya dan tidak hanya memamah biak kurikulum yang tidak ada kaitannya dengan kebutuhan lokal.
Lalu, bagaimana dengan orang miskin yang ingin berobat? Meskipun kaum duafa diberikan kartu bebas biaya, itu tidak akan membuatnya sembuh dengan mudah. Sakit memerlukan biaya lebih sekadar menebus obat.
Jika ghirah keislaman diarahkan bagaimana membuat umat ini tidak lemah, maka tugas kita sebagai Muslim telah tertunai. Mungkin, kita juga perlu meniru usaha Johor Corporation, Malaysia, di bawah teraju tokoh wiraswasta Ali Hashim, yang mewakafkan sahamnya untuk diberikan kepada masjid agar membangun klinik yang tidak membebani ongkos mahal untuk orang miskin.
Saya tidak menampik ide-ide besar, seperti tegaknya syariah, model kekhalifahan, Islam liberal, atau apa pun namanya. Dengan catatan semua memikirkan kembali akar dari keterpurukan umat, yaitu ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Jika kita semua bertanggung jawab dengan sungguh-sungguh untuk menuntaskan masalah ini, maka diharapkan perbincangan tentang kembali kepada Islam tidak ditelikung oleh para elitenya untuk berdiri di depan panggung dan di belakangnya mereka mendapatkan pamrih.