27 Juni 2008
Hari kedua di Jakarta, saya praktis hanya berdiam diri di rumah adik saya bersama Bunda. Selain, merasakan sarapan pagi ‘nasi uduk’, saya juga meminum susu murni nasional rasa coklat yang dibeli dari penjual keliling. Agak heran, sebungkus nasi yang dibubuhi tahu dan ‘bakwan’ hanya dihargai Rp 2500 dan susu murni itu hanya Rp 2000. Saya memilih keduanya adalah bentuk pembelajaran untuk mengonsumsi barang dalam negeri. Nasi uduk itu dijual ama penduduk asli Jakarta Betawi, sementara susu nasional produk Jawa Tengah. 
Pagi-pagi sekali, TV One, menayangkan kasus demo mahasiswa yang berakhir rusuh. Sebenarnya, saya mendengar kerusuhan di depan DPR dari supir taksi yang kami ajak ngobrol. Tambahan lagi, ketika saya membeli koran TEMPO (26/6/08) di terminal Kampung Melayu, saya miris melihat ‘gambar’ di halaman depan  mahasiswa disemprot oleh water canon dengan judul besar “Demo Brutal”. 
Yang lebih membuat saya tersentuh ‘tayangan’ pemukulan polisi terhadap mahasiswa dalam kasus demo mahasiswa dan pemukulan laskar FPI terhadap AKKBB dalam berita bertajuk bulan kekerasan. Akhir dari penayangan dalam berita ini adalah STOP KEKERASAN! Ya, menurut saya udah nggak jamannya main pukul. 
Tapi, sebelumnya saya mencoba untuk membersihkan halaman depan rumah Adik. Agar tidak berdebu, saya menyiramnya dengan air. Sayangnya, air buangan rumah di sekitarnya langsung ke selokan kecil di depan rumah. Bisa diramalkan jika nyamuk mendapatkan rumah yang nyaman dan tentu saja bau. Ini khas Jakarta. Padahal di kampung, rumah tangga dilengkapi dengan jurang tempat membuang air kamar mandi secara tertutup. Boleh dikatakan, kampung saya tak ditingkahi oleh nyamuk yang berkeliaran karena selokan yang berbau. 
Saya hanya ingin beristirahat sejenak untuk memikirkan semua carut marut Jakarta. Sebelumnya saya telah mendapatkan koran Media Indonesia (25/6/08) dalam penerbangan dari bandara Pulau Pinang-Jakarta. Dalam ruang ‘Selamat Siang Indonesia’ bertajuk Jakarta, wartawannya (teguh@mediaindonesia.co.id) membuka paragraf dengan kalimat menyengat ‘Jakarta 481 tahun. Tua, sesak dan amburadul. Ibu Kota ini menyimpan seribu satu masalah.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Ruang Baca
Saya meletakkan pesan Pak Musa Asy'arie di loteng, tempat kami menyimpan buku. Berjuang dari Pinggir adalah salah satu karya beliau yan...
- 
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
 - 
Ke negeri Temasek, kami menikmati nasi padang. Kala itu, tidak ada poster produk Minang asli. Pertama saya mengudap menu negeri Pagaruyung ...
 - 
Ahmad Sahidah lahir di Sumenep pada 5 April 1973. Ia tumbuh besar di kampung yang masih belum ada aliran listrik dan suka bermain di bawah t...
 
No comments:
Post a Comment