Seingat saya, hanya beberapa kali saya mengikuti upacara bendera memperingati kemerdekaan Indonesia dalam usia remaja hingga dewasa.  Hanya sewaktu masih di sekolah dasar, saya kerapkali mengikuti acara ini, karena diwajibkan oleh guru. Namun, tak satupun detik-detik peringatan itu hinggap di benak. Apalagi, setelah melanjutkan sekolah ke pondok pesantren, praktis saya tidak pernah mengikutinya, malah saat kuliah di perguruan tinggi tak pernah sekali pun saya berdiri tegak untuk merayakan kemerdekaan melalui upacara.
Untuk peringatan yang ke-63, saya diminta untuk membakan UUD 1945 di wisma Konsulat Jenderal Republika Indonesia. Tadi pagi, saya berangkat untuk mengikuti gladi bersih yang dipandu oleh Bapak Henridjal, staf KJRI. Ternyata saya harus melatihkan kembali berbaris, karena pembacaan ini dilakukan dalam upacara ala militer.  Bersama Pak Nang dan Mas Supri, kami bertugas pada momen detik-detik proklamasi, yang terdiri dari pembacaan teks, UUD 1945 dan doa. Latihan ini memakan waktu sekitar 1-jam. Menariknya, di sela upacara, ada persembahan lagu kebangsaan oleh para tenaga kerja wanita Indonesia yang 'bermasalah' yang berdiam di wisma KJRI. Mereka tampak bersemangat dan menghayati lagu itu. Ada gurat sedih tentu, karena mereka melawan nasib yang tidak berpihak dan masih yakin bahwa kemerdekaan akan memberikan banyak berkah pada mereka. Semoga!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Ruang Baca
Saya meletakkan pesan Pak Musa Asy'arie di loteng, tempat kami menyimpan buku. Berjuang dari Pinggir adalah salah satu karya beliau yan...
- 
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
 - 
Ke negeri Temasek, kami menikmati nasi padang. Kala itu, tidak ada poster produk Minang asli. Pertama saya mengudap menu negeri Pagaruyung ...
 - 
Ahmad Sahidah lahir di Sumenep pada 5 April 1973. Ia tumbuh besar di kampung yang masih belum ada aliran listrik dan suka bermain di bawah t...
 
No comments:
Post a Comment