Tuesday, September 02, 2008

Hari Kedua Ramadhan

Hari pertama telah dilalui tanpa hambatan berarti. Menahan lapar karena berpuasa bukan perjuangan yang menyusahkan, karena saya terbiasa sejak kecil, tepatnya sewaktu masih bersekolah di tingkat dasar. Lingkungan kampung dulu telah membentuk kebiasaan ini. Tak ada yang luar biasa. Semua berjalan mengikuti kehendak sosial. Di luar kewajiban ini, saya menemukan ketentraman dengan suasana sekitar. Sore adalah waktu menghabiskan waktu di depan pasar menunggu bedug ditabuh di menara masjid.

Kadang dalam keadaan lapar, saya masih berlarian di sawah untuk merebut layangan putus. Sebuah permainan yang menggairahkan waktu itu. Hanya keriangan yang hadir, bukan kelelahan. Keringat tak menghalangi untuk terus berjibaku mendapatkan layangan, meskipun tak sebanding dengan bahaya yang mungkin menghadang, misalnya jatuh tertusuk sisa akar padi.

Pulang dalam keadaan kotor adalah hal biasa. Mandi akan menyegarkan tubuh. Kadang kami beramai-ramai ke sungai, dan tak jarang terminum air sehingga perut kembung. Namun, saya tetap berpuasa, meski kadang diledek oleh ayah apa sudah kenyang?

Mungkin karena lapar dan lelah, saya akan makan dengan lahap saat buka tiba. Suara azan Maghrib yang disiarkan radio RRI seakan lebih indah. Bahkan, hingga sekarang, suara ini selalu menyeret saya ke masa kecil. Meskipun tidak tahu, siapa yang melantunkannya. Ya, saya kadang mendengarkan azan ini masih diperdengarkan melalui Radio DJ FM Surabaya on line. Dalam keadaan kenyang, badan lemes, tapi itu tidak akan menghalangi saya pergi ke surau, bertemu dengan teman-teman lain untuk melakukan shalat tarawih. Lalu, dilanjutkan dengan tadarus bersama di ruang tengah masjid dengan pengeras suara. Uniknya, kegiatan ini melibatkan warga dari segala usia.

No comments:

Majemuk

Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...