Saturday, October 11, 2008

Belajar dari Mendengar dan Melihat

Semalam, kami menonton film Ayat-Ayat Cinta di TV 3. Kebetulan, karena saya sendiri belum pernah melihatnya. Meskipun versi bajakan telah beredar, saya menahan diri untuk tidak menontonnya. Akhirnya, keinginan tertunai setelah televisi swasta Malaysia menayangkannya menyambut hari raya. Sebelumnya, saya telah membaca novelnya, yang dipinjamkan oleh kawan baik saya, Zainal Hakim, mahasiswa PhD bidang kerja sosial dari Bandung.

Pembukaan film di atas menyentak karena diselipkan shalawat yang dibacakan secara khas oleh Kiai Mbeling, Emha Ainun Najib. Selanjutnya, saya menekuri kotak kaca untuk mencocokkan jalan cerita versi layar lebar dengan novel. Agak susah memusatkan perhatian jika saya harus disibukkan untuk menulis. Malah, jeda iklan kadang mengganggu, meskipun sebenarnya memberi kesempatan menulis hal-hal penting berkaitan dengan alur, dialog, tempat, dan karakter. Tambahan lagi, teman karib Melayu saya, Fauzi Hussin, sempat mengirim pesan pendek (sms) berbagi cerita di atas.

Sosok Fahri di film ternyata bukan manusia luar biasa. Ia tidak lebih sebagai mahasiswa yang mempunyai kebaikan, keyakinan dan kepedulian dengan yang lain dan lingkungannya dan tampak cengeng dan emosional ketika harus dijebloskan ke dalam penjara. Malah, sebagai mahasiswa cerdas dan bacaannya yang berat tidak muncul dalam film. Pada awalnya, cerita berjalan datar, namun setelah Aisyah dan Fahri mengikat perkawinan, alur mulai menaik karena konflik bermunculan. Tampak, di sini, setiap orang diuji sejauh mana mereka berhasil menghadapi masalah dan mengatasinya. Ternyata, Aisyah dan kakaknya tidak mencerminkan keteguhan sebagai Muslim ketika bersedia membayar dengan uangnya agar suaminya keluar dari penjara. Lagi-lagi Fahri menempalak dan bersuara keras untuk tidak melakukan penyuapan.

Di tengah sedu sedan tangis dan tarik urat leher, justeru saya lebih banyak larut dalam suara latar yang menyatakan shalawat dan istighfar yang dibawakan segara bergantian oleh Cak Nun dan Ustaz Jefri. Bulu kuduk berdiri dan bergidik dan kadang menahan sebak agar tidak menjadi tangis tidak tertahankan. Adegan shalat jamaah yang melibatkan Mariam, sang mualaf, menaikkan degup jantung karena suara Cak Nun melantukan istighfar membelah keheningan dan suaranya yang khas. Inilah pengambilan gambar yang paling indah menurut saya.

No comments:

Syawal Keenambelas

Bersama TKI, kami pergi pada dini hari ke bandara ketika Anda tidur atau menonton laga bola Inggeris lwn Belgia.  Sebagian buruh dari Madura...