Koran Surya, 21 November 2008 | |
SETELAH pelaku teroris bom Bali, Imam Samudera, Ali Gufron dan Amrozi, mengembuskan napas terakhir di tangan regu penembak, apa yang tersisa di benak kita tentang pelaku teror? Mungkin kita bergumam pelan, mereka telah menyia-nyiakan hidupnya yang seyogianya bisa digunakan mengubah keterpurukan umat dengan lebih sabar. Sejatinya, tekad mereka yang bulat untuk lebih bermanfaat dalam menyebarkan kebajikan semestinya dengan cara yang menghargai kehidupan, bukan menghanguskannya. Sudah saatnya, penganut agama menyadari bahwa ajaran agama perlu dikembalikan kepada pangkalnya, menyelamatkan manusia dan lingkungan. Meskipun kelompok perusak ini kecil, namun dampaknya besar bagi keseimbangan kehidupan. Perlu secara luas ditegaskan bahwa tindakan teror semacam itu bukan jihad dan dengan sendirinya berada di luar ajaran resmi Islam. Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menunaikan tugas ini dengan cemerlang. Lalu, pernahkah kita memikirkan tindakan teror lain menghantui kehidupan kita setiap hari? Meski tidak seheboh teror bom Marriott, Bali dan Kuningan, korban obat terlarang, misalnya, menimpa siapa saja. Korbannya justru lebih banyak dan menyebar, tidak pandang bulu. Tidak itu saja, keluarga yang bersangkutan mengalami goncangan yang dahsyat. Bukankah ini adalah kejahatan kemanusiaan yang sempurna? Lalu, adakah mobilisasi yang memadai dari pihak terkait dan keprihatinan publik terhadap masalah ini? Makna Lain Terorisme Betapapun ragam definisi istilah terorisme ini ditemukan, namun satu hal yang disepakati adalah sasaran korban adalah masyarakat kebanyakan, bukan kombatan. Lalu, bagaimana dengan korban obat terlarang, dampak penggundulan hutan terhadap kehidupan khalayak dan kegagalan negara menyejahterakan rakyatnya yang sama-sama membunuh, meskipun secara perlahan? Tidakkah ia juga tindakan teror dengan senyap? Belum lagi, tindakan sebuah kelompok keagamaan yang telah secara serampangan membawa bendera agama melakukan tindakan anarkisme, baik secara simbolik maupun fisik yang ada di sekitar kita. Sebenarnya, kata teror tidak hanya diungkap dalam kaitannya dengan pelaku kekerasan dengan sasaran sarana publik atau masyarakat umum. Ia juga digunakan bagi keadaan masa kini dimana serangan konsumerisme telah meneror masyarakat dengan iming-iming citra yang akan melekat pada penggunanya. Produk pelangsing tubuh, pemutih kulit, operasi tubuh dan lain-lain juga telah mengantarkan masyarakat pada kematian eksistensinya dan diam-diam ini juga menimpa kaum lelaki. Terlalu banyak di luar sana mereka yang merasa cemas dengan keadaan tubuhnya, sehingga mereka selalu mengalami kecemasan. Tidakkah ini termasuk dalam pengertian korban teror? Demikian pula, pengaruh resesi ekonomi dunia akibat kegagalan negara Amerika mengelola ekonominya juga menimpa kehidupan masyarakat Indonesia. Belum lagi dampak krisis moneter yang menggerus daya hidup mereka. Kini, ada ancaman baru yang sedang menganga. Boleh ditebak, masyarakat kebanyakan akan semakin susah memenuhi kehidupan sehari-hari, seperti memenuhi biaya pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan. Jelas ini adalah teror nyata yang secara perlahan menghantui hari-hari mereka. Melawan Teror Tindakan aparat membekuk pelaku premanisme di beberapa kota besar Tanah Air adalah sebuah tindakan simpatik yang perlu dihargai. Memang, tindakan terorisme mengambil pelbagai bentuk. Bagaimanapun, premanisme telah menjadi momok yang menghalangi masyarakat menikmati hidup dengan nyaman di negerinya sendiri. Suasana malam yang seharusnya menjadi waktu luang melepas lelah setelah seharian bekerja, menjadi penghalang karena kejahatan sedang mengintip untuk menyergap korban. Mereka inilah yang sering memalak masyarakat kecil dengan alasan sebagai ongkos keamanan. Kita tentu meminta aparat melakukan tindakan yang sama terhadap penjualan minuman keras yang masih diperjualbelikan secara bebas. Peristiwa tewasnya beberapa pemuda yang teler atau melakukan tindakan kriminal akibat pengaruh alkohol sering kita dengar. Pemberantasan minuman keras ini, termasuk penyalahgunaan obat terlarang, tidak sulit dilakukan jika aparat melibatkan masyarakat luas untuk memberikan informasi melalui layanan pesan singkat (SMS). Pihak berwenang harus menyebarkan iklan layanan masyarakat yang meminta masyarakat memberikan informasi tentang penyakit masyarakat ini kepada pihak berwajib secara langsung untuk diambil tindakan. Dan mungkin yang juga perlu diperhatikan secara sungguh-sungguh, kemiskinan adalah bentuk teror yang paling akut. Adalah tidak keliru jika Mahatma Gandi, tokoh kemerdekaan India, menyatakan kemiskinan adalah bentuk kekerasan yang paling buruk. Namun media televisi kita belum bersedia menyorot masalah ini sebagai isu secara terus menerus agar kita menemukan rumusan bersama membasmi teror yang jelas-jelas ada di sekeliling kita. Kalau ini dilakukan, dampaknya luar biasa. Mungkin kemewahan yang selama ini berdiri sombong di tengah masyarakat bertukar penampilan dengan kedermawanan. Uang yang bertaburan untuk iklan politik dialihkan pada pengembangan ekonomi rakyat. Mereka yang sedikit mempunyai uang akan menyumbangkannya untuk amal kebajikan. Jika ini tidak dilakukan, kita telah turut andil menyebar teror terhadap masyarakat. Lalu, siapakah sebenarnya pelaku teror itu? Ahmad Sahidah Kandidat Doktor Departemen Filsafat dan Peradaban dan Research Assistant Staff pada Universitas Sains Malaysia |
Tuesday, November 25, 2008
Mewaspadai Teror Lain
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Majemuk
Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...
No comments:
Post a Comment