Bagi saya, makan adalah persoalan mengasup untuk mendapat energi setelah lelah menjalankan aktivitas. Dengan nasi, tempe dan sayur, saya telah merasa cukup. Apalagi ditambah krupuk dan sambal, makan menjadi sempurna. Lalu, rutinitas ini diparipurnai dengan seteguk air. Jika ada buah, saya merasa telah mengikuti aturan makan yang sehat. Sepertinya, pencernaan saya mendapatkan pasokan yang melancarkan kerjanya.
Lalu, apakah saya menampik makanan yang dilakukan secara seremonial? Maksudnya dimulai dengan penaik selera (appetizer), makanan utama, lalu pencuci mulut (desert). Tidak, sebab ini adalah pengalaman menikmati lezatnya makanan. Meskipun kadang membosankan karena saya menunggu terlalu lama untuk beranjak dari meja makan. Ia adalah penjara yang menyenangkan. Sambil ngobrol ke sana ke mari, saya menikmati udang yang menjadi pembuka. Ditingkahi ketawa dengan kawan yang kebetulan terlibat dalam kegiatan ini, acara makan menjadi tidak menjemukan. Mungkin karena tidak terbiasa, saya kadang merasakan perut ini sesak.
Sejauh mungkin saya selalu mengincar ikan dan sayur karena dua menu ini, katanya, baik untuk kesehatan. Memang tidak mudah, sebab aneka makanan daging lebih mengundang selera. Tapi, inilah hidup. Jika kita memilih, kita harus bersedia menerima akibatnya. Pendek kata, kitalah yang menentukan sehat dan tidaknya tubuh ini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Radio, Kopi, dan Ibn Khaldun
Ronald Reagen pernah mengutip Ibn Khaldun tentang pajak. Betapa ide penulis Muqaddimah mengalir hingga jauh. Menariknya, mantan presiden Ame...

-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Rindu itu adalah perasaan akan sesuatu yang tidak ada di depan mata kita. Demikian pula, buku itu adalah jejeran huruf-huruf yang menerakan ...
-
Kata dalam judul sering didengar di tahun baru. Orang jiran menyebutnya azam. Anda bisa menyebutnya tekad. Buku ini menandai sebagian dari ...
No comments:
Post a Comment