Pengertian Melayu sebagai orang yang beragama Islam, mengamalkan adat dan berbahasa Melayu adalah definisi yang acapkali telah diterima. Bagaimanapun, Yusril Ihza Mahendra dalam kuliah umum di Universitas Sains Malaysia (18/12/08) menegaskan bahwa roh Melayu adalah Islam. Lalu, Islam yang mana? Mungkin tidak ada jawaban tunggal terhadap pertanyaan ini, sebab dalam sejarahnya di tanah Melayu telah muncul pelbagai aliran dan pemahaman terhadap keislaman.
Majalah Dewan Budaya, yang saya beli 3 hari yang lalu, menurunkan sebuah tulisan oleh Profesor Awang Sariyan, dosen di Beijing University, yang mencoba memberi jawaban terhadap makna menjadi Melayu (lihat edisi November 2008). Di sini, ketua kajian Melayu di Universitas Beijing ini mengurai asal muasal Melayu sebelum Islam datang. Penegasan, dengan merujuk kepada Prof Naquib al-Attas, bahwa Islam telah memberikan pandangan dunia (weltanschauung) yang khas terhadap identitas Melayu tentu mengubah lanskap pemikiran tentang kemelayuan.
Lalu, bagaimana identitas Melayu di era postmodern yang mengandaikan bahwa identitas itu merupakan mitos? Mungkin kita perlu membuka kembali pengertian identitas (Sheldon Stryker dan Peter Burker, 2000: 284) yang secara relatif digunakan pada tiga pemahaman berbeda, yaitu hakikatnya mengacu pada kebudayaan sebuah masyarakat, yang kadang tidak dibedakan antara identitas dan etnik. Yang lain merujuk pada identifikasi umum dengan sebuah kategori kolektivitas atau sosial. Di dalam teori identitas sosial (Tajfel 1982) ia menciptakan sebuah kebudayaan yang sama di antara partisipan. Lalu, ia mengandaikan sebuah kedirian yang mengandung makna-makna yang melekat pada seseorang dalam membawakan pelbagai peran yang dimainkan di dalam masyarakat yang sangat majemuk.
Michele Lamont (2002) mencoba untuk menyuguhkan posisi di antara primordial-esensialis (modern) dan kontruktivis (pascamodern), bahwa identitas itu dibentuk dan sekaligus diikat oleh kebudayaan yang diakses oleh seseorang dan konteks struktur tempat dia hidup. Mungkin posisi ini bisa dijadikan pijak bagaimana identitas itu dipahami dan dijadikan 'alat' sementara untuk mewujudkan komunikasi efektif antara sesama.
Dengan demikian, pengertian identitas hakikatnya menuntun seeorang pada khazanah yang sangat kaya. Dengan demikian ia tidak semudah membalikkan tangan disematkan pada seseorang. Namun, di dalam kenyataan sehari-hari, identitas mudah diucapkan dan dilekatkan pada diri seseorang dengan segala konsekuensi terhadap pengertian diri (self) dan masyarakat (society). Kehendak untuk memartabatkan sebuah identitas tentu merupakan kebutuhan dasar dalam memosisikan diri dalam pergaulan. Meskipun, kadang identitas itu juga berkait dengan peran yang memungkinkan menyapa identitas lain. Konflik yang acapkali mendera tentu bisa dilacak pada kepentingan, dengan segala pengertiannya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Majemuk
Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...
No comments:
Post a Comment