Friday, December 12, 2008

Membaca Kitab Suci dengan Hati

Koran Republika, edisi Jumat, 12 Desember 2008

Ahmad Sahidah
Kandidat Doktor Kajian Peradaban Islam pada Universitas Sains Malaysia

Alquran adalah Kitab Suci yang telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari penganutnya. Ia telah menuntun individu untuk selalu dekat dengan penciptanya melalui apa yang telah difirmankan. Memang kebanyakan tidak memahami kandungannya, tetapi membacanya saja telah mendatangkan pahala sehingga yang bersangkutan merasa tentram. Di kepala mereka tebersit keselamatan akan digenggam dan carut-marut hidup akan terurai.

Tetapi, tidak bagi sarjananya. Mereka bertengkar tentang isinya. Malah, sejak dulu satu generasi setelah Nabi Muhammad, bijak pandai Muslim telah memahami secara berbeda terhadap teks yang sama. Apatah lagi dalam usia ke-14 abad, perselisihan makin meruyak. Ditingkahi lagi dengan keterlibatan sarjana Barat yang makin memperbesar area konflik interpretasi. Tentu yang tidak dapat dilupakan perbedaan apakah Alquran makhluk atau tidak pada zaman Khalifah al-Ma'mun telah menentukan mati dan hidupnya seseorang.

Sementara pada masa yang sama sarjana Muslim juga terbelah perhatian terhadap Kitab Suci ini. Ada yang menonjolkan kedalaman Alquran dari sisi ilmu pengetahuan, sementara yang lain menumpukan pada makna spiritual. Mereka mengasyiki apa yang telah menjadi spesialisasinya dan mencoba mencari pembenaran keyakinannya atau malah ada yang mendapatkan ilham dari kalam Tuhan melahirkan teori baru. Tuhan telah membuka hal ihwal dunia.

Pembacaan dengan hati
Pembacaan dengan hati, mengapa? Padahal, hati sebagai terjemahan dari kata qalb sering berubah-ubah? Meski demikian, hati di sini adalah terjemahan lain dari fu'ad. Memang dalam tradisi ilmu Alquran, penafsiran dibagi ke dalam naqli (riwayat), aqli (akal budi), dan isyarat (spiritual). Mungkin hati lebih dekat dengan yang terakhir. Tentu, hati tidak kemudian dipisahkan dari dua yang pertama karena suasana batin itu juga berkaitan dengan keadaan lahir dan rasio kita.

Tartil atau membaca Alquran sesuai dengan aturan hakikatnya sebagian dari mendekati Alquran. Ia adalah cukup bagi awam, tetapi kaum terpelajar menempalak sebagai igauan. Tentu, perspektif masing-masing tidak bisa dijadikan ukuran menilai yang lain. Justru Georg Hans Gadamer menegaskan bahwa ketika seorang memahami berbeda sesuatu yang sama maka mereka telah benar-benar memahami, bisa dijadikan pijakan untuk kita tidak lagi mengusik orang lain. Malahan, masing-masing memberikan apresiasi dan dukungan sebab siapa tahu keduanya bisa bertukar tempat atau malah saling menguatkan.

Pembacaan Kitab Suci ini tidak semata-mata pelarian dari ketidakmengertian. Ia adalah ayat Tuhan yang seperti ditegaskan oleh Allah merupakan sebagian tanda-tanda kebesarannya yang ada pada diri manusia dan di cakrawala. Meringkus kekuasaan Tuhan pada Kitab Suci, kita telah sewenang-wenang mengerdilkan kemahaluasannya.

Mengatakan bahwa jalan menuju Tuhan bisa dengan akal budi, seperti diyakini filsuf Muslim, Ibn Tufayl, dalam karya cemerlangnya Hayy Ibn Yaqzan, tidak perlu dipaksakan bagi Muslim yang enggan berfilsafat. Jelas-jelas yang terakhir ini jika dilakukan adalah sebuah kepongahan.

Pembacaan Kitab Suci dengan hati tidak serta-merta menepikan logika, tetapi justru ia mengatasi ketidakmampuan akal budi meraup pesonanya serta-merta. Bukankah filsuf juga mengakui keterbatasan akal budi? Apatah lagi Kitab Suci memang juga berkaitan dengan cita rasa estetik sehingga perasaan manusia yang bisa menghampirinya.

Membaca begitu saja tentu berbeda dengan mengkaji yang kadang menuntut pelaku meragukannya. Ini saja telah menghentikan kekhusyukan. Membaca dengan hati hakikatnya ingin menghadirkan pesan utama Alquran, yaitu membebaskan manusia dari penindasan. Tentu, ia akan mengambil beberapa bentuk sebagaimana diterakan dalam Alquran.

Dengan pembacaan berulang-ulang pesan itu akan terus tertanam. Keteraturan membacanya justru makin menguatkan pembacanya untuk menjadikan pesan itu sebagai bagian dari falsafah hidupnya. Pembaca seakan-akan memahat pesan ini secara terus-menerus sehingga ia tertancap dalam di hati. Tentu, kesungguhan ini akan menggerakkan pembaca untuk mewujudkan pesan itu dalam kenyataan. Tindakan adalah akibat wajar dari sebuah keyakinan.

Pesan utama
Jadi, pembacaan apa pun tentang Kitab Suci mesti bermuara pada pesan utama itu meskipun untuk menggapainya dengan pelbagai pendekatan. Muaranya akhirnya juga ke hati. Saya sendiri tidak menampik tradisi luar untuk mengupas kedalamannya sebab ternyata Toshihiko Izutsu, sarjana Kajian Islam Jepang, berhasil mengungkap maknanya melalui pendekatan semantik Barat. Malah, hasil kajiannya menunjukkan kesamaan kesimpulan dengan para penafsir Muslim ortodoks mengenai hubungan Tuhan dan manusia (lihat dalam God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung).

Sekali lagi, setelah kita menimang-nimang Kitab Suci dengan perlbagai cara, akhirnya hati kita yang akan menuntunnya, ke mana perintah Tuhan itu dimaksudkan. Hati telah menjadi penentu motif, kehendak, dan kepentingan membaca Alquran. Semua ragam itu justru membenarkan kenyataan manusia sebagai makhluk yang dilahirkan dengan perbedaan latar belakang. Penghormatan terhadap keragaman justru mengukuhkan pesan Nabi sendiri bahwa Alquran mempunyai empat makna, yaitu harfiah (zahir), metaforis (batin), moral (had), dan analogis (muttala').

Mungkin cerita ini adalah penutup dari tulisan dan sekaligus mengantarkan kita pada sebuah pilihan. Teman tetangga kamar saya, Ilyas, dari Aljazair, bercerita bahwa dulu ia menyukai musik, tetapi sekarang dia meninggalkannya karena musik yang terindah adalah Alquran. Berbeda dengan kawan karib lain saya, Pak Sugeng, yang selalu memutar bacaan Alquran bersamaan dengan mesin mobilnya dihidupkan.

Dalam sepanjang jalan, saya dengan sendirinya mendengar alunan Kitab Suci. Saya perhatikan dari kedua teman tersebut, perilakunya yang tenang dan tindak tanduknya yang menenteramkan. Mungkin mereka berdua menyodorkan hatinya ketika menikmati Kitab Suci, sementara saya sendiri masih bergulat dengan teks dan berharap cemas ke mana akhirnya pencarian makna itu berakhir. Lalu, Anda berada di kelompok mana?

No comments:

Majemuk

Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...