Thursday, April 30, 2009
Menemukan Identitas Anak Saya
Anak pertama saya lahir dari rumah sakit bersalin pemerintah pada tanggal 16 April 2009, jam 03.12 PM. Sebagai warga negara asing, kami harus membayar lebih mahal daripada orang lokal, meskipun demikian biaya operasi di negeri jiran jauh lebih murah dibandingkan dengan Indonesia.
Atas saran rumah sakit, saya diminta untuk mendaftarkan anak kepada Jabatan Pendafataran Negara. Gambar di sebelah adalah kantor catatan sipil yang mengurus pembuatan kartu tanda penduduk dan akte kelahiran. Untuk sampai ke tempat ini, saya harus bolak-balik karena sering salah jalan dan terbabas. Hikmahnya saya justeru lebih banyak mengenal lingkungan, panorama dan tempat yang sebelumnya tak pernah dikunjungi.
Di sana, saya hanya memerlukan waktu singkat dan pihak catatan sipil tidak meminta biaya. Motto Amanah, Cekap dan Mesra yang diterakan di papan nama, betul-betul sikap para pegawainya, bukan hanya sekedar papan nama. Mereka bekerja dengan cepat, tepat dan ramah. Kelelahan yang mendera sirna. Ada buncah kebahagiaan karena puteri pertama kami telah tercatat secara sah sebagai manusia di muka bumi. Lalu, pertanyaannya? Siapakah si kecil itu? Orang Indonesia? Bukankah secara geografis dia lahir di negara lain? Atau orang Jawa karena lahir dari Ibu asal Yogyakarta? Lho, bagaimana dengan bapaknya yang berasal dari Madura? Lagi pula, namanya, Mutanabbiyya Wasatiyya, berasal dari kata Bahasa Arab?
Tentu, identitas anak saya akan menjadi perselisihan ilmuwan. Namun kutipan ini bisa membantu kita: From the postmodern perspective, as the pace extension, and complexity of modern societies, identity becomes more and more unstable, more and more fragile. With this situation, the recent discourse of postmodernity problematize the very notion of identity, claiming that it is a myth and an illusion (Douglas Kellner, 1992: 143). Ada beberapa kata kunci, yang telah saya buat miring, seperti unstable, fragile, myth dan illusion, yang bisa menerangkan apakah identitas anak saya.
Namun, sebebas apapun dia kelak menentukan dirinya, Nabiyya akan membawa paspor Indonesia kemana-mana dan akan terus memanggul tanda sebagai warga negara sebuah bangsa yang, katanya, mata rantai dari surga (silsilatun min al-jannah).
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Majemuk
Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...
No comments:
Post a Comment