Saturday, April 25, 2009

Nestapa Pemilu di Luar Negeri

Kedaulatan Rakyat, 25/04/2009 09:37:03

Sebagai salah seorang panitia pemutakhiran data pemilih (PPDP) Luar Negeri, Malaysia, saya mengalami secara langsung betapa susahnya mendaftar calon pemilih yang tersebar luas di negeri orang. Bayangkan untuk wilayah Konsulat Jenderal RI Penang, kami harus mengumpulkan data pemilih di tiga negara bagian (Penang, Kedah dan Perlis). Belum lagi, keterlambatan KPU menggelontorkan dana sehingga membuat kerja petugas lapangan melempen.


Atas inisiatif pihak konsulat, panitia tetap memulai kerja dan berusaha sekuat mungkin untuk mengumpulkan data. Malah, untuk menambah tenaga, KPPSLN (Kelompok Panitia Pemungutan Suara Luar Negeri), melibatkan pekerja melebihi yang disetujui Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan membagi gaji setengah daripada yang seharusnya.


Jika kemudian banyak warga Indonesia tidak terdaftar adalah wajar. Namun ini tentu bukan alasan yang bisa diterima karena para anggota panitia dibayar untuk bekerja. Tetapi, mungkinkah 15 anggota PPDP bisa mendata puluhan ribu warga Indonesia di tiga propinsi? Memang dalam beberapa kesempatan, ketua KPPSLN Pulau Penang, Bapak Karnadi, selalu menyatakan bahwa keterlibatan panitia di luar negeri untuk menyukseskan pemilu sebagai kecintaan terhadap merah putih. Pernyataan ini acapkali diulang-ulang untuk memberikan semangat agar pesta demokrasi bisa digelar pada 9 April 2009.


Tentu adalah tugas berat KPPLSN untuk memperbaharui data yang telah diterima untuk pencontrengan legislatif yang mewakili Daerah Pemilihan II Jakarta. Kesulitan untuk meminta warga melakukan pencocokan dan penelitian (coklit) karena faktor jarak dan waktu telah mengakibatkan banyaknya warga yang tidak tahu apakah berhak memilih atau tidak. Oleh karena itu, mengantisipasi pemilihan presiden, para pemilih yang datang ke lokasi, namun tidak terdaftar, disarankan untuk tetap mendaftar agar bisa mengikuti pemilihan presiden dengan dimasukkan langsung untuk pemutakhiran data.


Berbeda dengan hiruk pikuk di milis Persatuan Pelajar Indonesia se-Malaysia mengenai amburadulnya Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang menyebabkan kacaunya pemilihan umum di Kuala Lumpur. Perdebatan di sini telah membuka banyak celah kelemahan pengumpulan data. Adalah tidak aneh, banyak pemilih yang kecewa karena berharap bisa menyontreng langsung ternyata didaftar sebagai pemilih melalui pos. Malah, di Buletin Utama TV 3 (9/4/09), sempat disiarkan berita wawancara dengan salah seorang Mahasiswa yang menyatakan kekecewaannya terhadap panitia. Belum lagi, hengkangnya saksi dari beberapa partai karena adanya penggelembungan suara melalui dropping box. Tidak tanggung-tanggung, ada 600 suara yang dicontreng dengan hanya ditujukan pada satu partai.


Tidak hanya berkenaan dengan DPT, keterlibatan sejumlah anggota dan pengurus partai dalam kepanitiaan pemungutan suara menambah runyam keadaan. Celakanya lagi, keanggotaan Panwaslu melibatkan pengurus partai tertentu. Malah, foto anggota tersebut disebar di milis Persatuan Pelajar se-Malaysia ketika mengikuti rapat.


Tentu jika benar, ini makin menambah runyam keyakinan masyarakat terhadap terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil. Oleh karena itu, diharapkan anggota atau pengurus partai yang terlibat dalam kepanitiaan pemungutan suara dan panwaslu mengundurkan diri untuk menghindari ketidakpercayaan khalayak terhadap legitimasi pemilu luar negeri.

Ikhtiar Mendapat Pemilih


Sebenarnya panitia telah melakukan banyak cara untuk menjaring pemilih, selain promosi melalui media, seperti bekerja sama dengan penyedia layanan sms, laman sesawang (web), pendidikan politik dan sosialisasi di beberapa tempat strategis.


Dalam pengalaman mengikuti sosialisasi, saya merasa bahwa panitia telah berusaha secara sungguh-sungguh dengan melibatkan tokoh masyarakat untuk meminta warganya mendatangi acara sosialisasi dengan pelbagai acara menarik, seperti dangdut dan lomba karaoke. Pada masa yang sama, secara proaktif panitia memberikan formulir untuk diisi oleh warga dan memasukkan ke dalam daftar pemilih sementara.


Saya juga mengetahui dari dekat bagaimana ketua pengumpulan data, Dr Jamhir Safani, seorang dosen Indonesia di Universiti Sains Malaysia bekerja keras untuk menyusun DPT tanpa mengenal waktu hingga anak-anak beliau mengeluh karena bapaknya tidak lagi mempunyai waktu menemani liburan ujung minggunya. Namun jumlah warga yang diperoleh juga tidak banyak.


Mungkin kesulitan yang dihadapi petugas lapangan adalah keterbatasan waktu untuk mendata warga yang bekerja di tapak binaan (bangunan) karena hanya terbatas pada jam istirahat makan siang. Dengan keterbatasan waktu dan luasnya kawasan yang harus didata, para petugas hanya mempunyai waktu satu jam di satu tempat. Keadaan semacam ini tentu tidak bisa melakukan pendataan secara menyeluruh.


Di tengah kesulitan ini, panitia akhirnya bisa mengumpulkan data sebanyak 36 ribu pemilih, yang sebagian besar berasal dari data konsulat. Meskipun dalam sebuah kesempatan, seorang pegiat partai politik membual bahwa dia bisa mengumpulkan pemilih hingga ratusan ribu. Tentu, kami bisa memahami bahwa dia seorang politisi yang bisa mengucapkan apa saja dan sedikit melakukan dari banyak hal yang diungkapkan.


Dari 845 suara langsung, hanya 298 yang sah, 19 tidak sah. Ini berarti ada sekitar 64.7 % yang tidak menggunakan hak suaranya. Tentu, KPPSLN menunggu cemas surat suara melalui pos, yang dikhawatirkan hilang di tengah jalan atau malah yang lebih memprihatinkan disobek atau dibuang begitu saja oleh pemilih. Hingga tulisan ini dimuat, penghitungan melalui pos dan dropping box masih dilakukan.


Akal Sehat


Banyak ulasan dan kritik yang telah dilontarkan berkaitan dengan pelaksanaan pemilu kali ini. Namun menuding jari pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga bukan jalan keluar karena sebagaimana yang ditulis oleh Mundzar Fahman, mantan redaktur Jawa Pos yang kini jadi ketua KPU di Bojonegoro di Jawa Pos (1 April 2009), ia juga berkait dengan keterlambatan partai dalam mengesahkan UU Pemilu 1998. Namun berkait dengan pendataan di luar negeri, cara yang berbeda perlu dilakukan karena sebaran warga Indonesia yang susah dipetakan. Data yang diperoleh di Kedutaan Besar maupun Konsulat tidak mencerminkan fakta sebenarnya karena banyak tenaga kerja Indonesia yang pulang tanpa memberitahu pihak perwakilan. Belum lagi, tidak semua warga Indonesia di sana menyatakan lapor diri. Sementara, pihak imigrasi Malaysia enggan memberikan data warga Indonesia.


Langkah panitia pemungutan suara Kuala Lumpur untuk memperbaiki DPT yang telah ada dengan membuka lowongan bagi pakar Teknologi Informasi tentu merupakan salah satu jalan untuk tidak mengulang kesalahan yang sama.Demikian pula langkah KPPSLN Pulau Penang yang mendata warga di hari pencontrengan untuk dijadikan DPT pemilihan presiden merupakan kearifan di tengah keraguan warga untuk mengikuti pemilihan presiden. Bayangkan seorang ibu, dari negara bagian Kedah, jauh-jauh datang ke Penang untuk menunaikan haknya terpaksa gigit jari karena namanya tak terdaftar.

Berangkat dari kekisruhan ini, semua pihak perlu mengedepankan akal sehat bahwa keruwetan ini perlu diurai, bukan dijadikan pintu masuk menolak pemilu. Justru, masa yang pendek ini digunakan untuk mencermati perbaikan data pemilih dalam pemilihan presiden. Jika ini tidak dilakukan, tidak terelakkan legitimasi presiden terpilih akan jatuh. Sebuah keadaan yang bisa mendatangkan petaka dan nestapa. q-o (777-2009)

*) Ahmad Sahidah, Kandidat PhD Ilmu Humaniora Universitas Sains Malaysia.

No comments:

Syawalan Kelimabelas

Saya akan menjemput Biyya seusai mengajar pada pukul 14.20. Ketika selesai mengajar Tafsir Modern dan Kontemporer, saya segera menuju parkir...