Saturday, January 23, 2010
Andai Jakarta adalah Dukuh Atas
Gambar di atas diambil dari koridor jalan bus (Busway) Dukuh Atas. Apa yang berkelibat dalam benak kita? Wajah ibukota yang teduh dan tidak semrawut. Setiap kali, saya melewati tempat pemberhentian ini, rongga dada dialiri angin segar. Sebenarnya, ada beberapa titik lain yang menampilkan suasana yang sama, seperti di Jalan Kuningan. Meski kadang perjalanan dengan angkutan umum kadang mengesalkan, tapi pemandangan hijau cukup mengobati rasa tak nyaman. Namun demikian, naik Busway tetap lebih nyaman dibandingkan angkutan lain, seperti KOPAJA dan Mikrolet, karena tidak panas dan hanya berhenti di titik tertentu. Selain mengurangi kemacetan, cara ini membuat penumpang berjalan kaki menuju tempat tujuan.
Mungkin agak susah untuk menjadikan seluruh ruas jalan di Jakarta seperti gambar di atas. Selain memerlukan biaya yang besar, keinginan ini akan banyak menuai masalah sebab begitu banyak bangunan permanen yang mengepung jalan sehingga benturan kepentingan tak dapat dielakkan. Mungkin, ibu kota yang sudah berusia 400 tahunan ini harus menerima nasib seperti ini, ruang yang nyaman dan kacau balau berbaur menjadi satu, membentuk mozaik. Keadaan semrawut biasanya akan banyak ditemukan di terminal, di mana angkutan umum tampak saling berebut untuk keluar dengan menekan klakson yang memekakkan telinga. Dalam keadaan seperti ini, pada waktu senja turun di Terminal Pulo Gadung, saya pun mengeluarkan kamera, merekam sekeliling. Tampak menara Masjid menyembul di antara sesaknya bangunan dan azan pun berkumandang. Pas di sebelah Mikrolet, penjual pakaian menunggu pembeli, yang gerainya mengambil badan jalan.
Ya, di Jayakarta inilah, nama pertama untuk Jakarta, banyak hal yang tampak kontras. Jika sedang luang, semua itu menghadirkan warna-warni, namun jika terburu-buru, kemacetan dan kekacauan itu sangat menyiksa. Mungkin, kita harus belajar dari sekumpulan anak sekolah SMP, yang tidak hirau dengan hiruk-pikuk, malah berceloteh banyak hal, seperti tentang asmara dan guru dan saya merasakan hidup mereka berjalan tanpa beban. Pengalaman ini saya nikmati ketika sedang menuju ke Terminal Kampung Melayu dari Pondok Kelapa dengan Mikrolet 31. Sementara seorang Ibu yang berada di tengah-tengah mereka tampak tak terganggu, meski terlihat tak secerah wajah pelajar yang memakai sandal karena hujan mengguyur Jakarta.
Belum lagi, tanah liat yang menggunung di pinggir Kanal Banjir Timur meleleh diterpa hujan. Praktis, air hujan bercampur dengan tanah yang memaksa pengendara sepeda motor berhati-hati. Namun, itu tidak menjamin pakaian mereka tidak kecipratan air yang bercampur tanah. Mungkin yang perlu dirapalkan setiap kali pengendara melewati daerah melafazkan "Tanpa Kanal ini Jakarta selamanya tidak selamat dari terjangan banjir". Anggap saja, ketidaknyaman ini adalah pengorbanan untuk keadaan lebih baik pada masa depan. Bukankah, hidup selalu berjalan seperti ini?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Majemuk
Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...
No comments:
Post a Comment