|
Thursday, 26 November 2009 12:30 |
Oleh: Ahmad Sahidah Idul Adha merupakan hari besar yang penting dalam kalender Islam selain Idul Fitri.Kata lain untuk menyebut nya adalah Hari Raya Kurban, yang lebih mudah untuk menggambarkan bahwa hari tersebut ditandai dengan penyembelihan binatang ternak (bahimah al-an’am) yang dagingnya dibagikan kepada fakir miskin. Selain itu, sebuah gambaran yang tertanam selama puluhan tahun adalah kaum berpunya menyumbangkan seekor sapi atau lebih untuk masjid ini dan surau itu.Dari kepala negara hingga orang biasa berbondong-bondong membawa hewan korban untuk dipamerkan, yang disampaikan secara simbolik dengan menyerahkan seutas tali sapi pada pengurus tempat ibadah. Dengan senang hati, media merekam peristiwa tersebut sehingga masyarakat bisa menyaksikan pagelaran kedermawanan. Secara arkeologis, persembahan binatang untuk sebuah upacara keagamaan telah lama dipraktikkan manusia. Demikian pula pengalaman Nabi Ibrahim mengandaikan itu, meskipun secara semantik kurban itu hanya simbo untuk menunjukkan sebuah ketaatan total. Sekarang,upacara yang sama tetap berjalan berupa penyembelihan ternak yang selalu tampak meriah disambut warga setempat. Pembagian daging membuat penerima berseri, apatah lagi bagi mereka yang jarang mengonsumsi daging dalam menu sehari-hari. Ritual hari raya tersebut secara sempurna menggabungkan relasi vertikal, salat dan pembacaan takbir sebagai pengagungan Allah,dan horizontal, pembagian daging korban sebagai kepedulian terhadap sesama. Di sini,kesalehan ritual dan sosial seperti dua sisi mata uang. Keduanya tak perlu dilebihkan di atas yang lain hanya karena tak jarang yang pertama kadang lebih mudah dilihat sebagai ibadah yang paling utama, sementara yang terakhir tidak. Sebaliknya, seseorang tak perlu terjebak dengan wacana agama etik yang kadang menihilkan praktik formal keagamaan.Sebab, perlu diakui bahwa kesadaran substantif itu hanya digenggam segelintir orang. Bagaimanapun formalitas itu telah menggerakkan tindakan filantropi dan secara langsung manfaatnya dirasakan oleh khalayak. Meraup Semangat Berkorban Salah satu keutamaan dari kurban, yang harus diperhatikan adalah hewan itu cukup umur,gemuk, dan tidak cacat.Pesan ini secara tersirat mengandaikan pemeliharaan yang memadai terhadap binatang ternak secara profesional.Tentu,ia terkait dengan banyak hal, seperti dukungan dinas pertanian dan peternakan, serta ahli manajemen. Pendek kata,ia bukan hanya urusan akhirat, yang secara formal diidentikkan dengan tugas pengawal agama, tetapi juga duniawi,yang biasanya dilekatkan pada orang awam. Dengan kata lain, tanggung jawab agama terhadap kemanusiaan harus dipikul bersama sehingga tak ada sekelompok orang yang dengan congkak memonopoli tugas kebajikan atas nama Tuhan berkeliaran di jalanan. Tiga hari sesudah Hari Raya Kurban diharamkan berpuasa. Ini menunjukkan bahwa agama peduli dengan kebutuhan manusia yang mengandaikan keperluan fisik dan rohani.Asketisme dalam agama bukan menampik kebutuhan tubuh dan abai terhadap kehendak sosial di mana masyarakat berkumpul menikmati hidangan sambil bercengkerama. Justru,dengan keseimbangan ini diharapkan kebersamaan akan terus lestari karena keperluan ragawi mendorong manusia untuk bekerja dan merawat hubungan keakraban dengan orang lain. Sekaligus, keseimbangan ini membelajarkan manusia untuk tidak melulu melihat kebaikan itu bersifat rohani, melainkan juga hal-ihwal badani. Selain itu, Idul Adha juga merupakan puncak dari ibadah haji. Jika sebelumnya kaum muslim melaksanakan banyak ibadah untuk mendekatkan dengan Tuhan,maka akhirnya mereka harus kembali pulang, mengurusi masalah kemanusiaan. Peristiwa Isra Mikraj juga mengajarkan hal yang sama, di mana Muhammad tidak kemudian tetap berada di langit,namun turun ke bumi untuk menuntaskan risalahnya. Kebajikan seperti ini ditunjukkan seorang tokoh sufi besar, Ibn Arabi, yang tak hanya berasyik-masyuk dengan Tuhan, tetapi juga peduli dengan fakir miskin dengan menghibahkan rumahnya untuk mereka. Modal Sosial Modal sosial merupakan jaringan sosial dan sikap manusia untuk bekerja sama,yang bisa muncul dalam pelbagai cara,seperti kewajiban (duty), penghormatan dan kesetiaan, solidaritas, kepercayaan dan pelayanan. Proses ritual korban mengandaikan semua unsur itu. Mungkin tak ada orang kaya yang tidak pernah alpa berkurban karena mata awas masyarakat sekelilingnya. Tak hanya itu,tata cara berkait perkongsian,7 orang untuk seekor lembu,tentu menyuburkan ikatan emosional karena kepedulian terhadap sesama telah menjadi tanggung jawab bersama. Pembagian daging kurban tentu melukiskan pelayanan yang sempurna karena mereka yang terlibat tak berharap pamrih.Para bapak menyembelih dan menguliti hewan yang dikurbankan dan para ibu memotongnya untuk dimasukkan ke dalam kantong plastik. Dalam Alquran Surat Al-Haj ayat 28 diterakan bahwa daging kurban itu bisa dimakan oleh yang berkurban, dan terutama untuk dibagikan pada orang susah, fakir miskin. Hakikatnya, tujuan akhir dari ritual ini adalah kepedulian terhadap sesama. Dibandingkan ibadah yang lain, ritual kurban mempunyai signifikansi yang luas karena mempunyai cerita (untuk tidak menyebutnya mitos) yang bisa menggugah anak-anak hingga orang dewasa dan melibatkan banyak orang terlibat di dalamnya. Dari uraian di atas,mungkin pesan lain pelayanan itu tidak terhenti pada hari raya dan tasyrik,tetapi lebih jauh momen korban mendorong kesadaran ini sebagai produktivitas. Upaya beberapa lembaga amil zakat (LAZ)–seperti LAZ Yaumil, PTBadak LNG Bontang Kalimantan Timur–yang bergiat dalam pemberdayaan masyarakat melalui peternakan. Dengan usaha ini diharapkan daerah Bontang akan berswasembada daging. Pembinaan yang dilakukan badan tersebut dengan tujuan akhir agar peserta bisa mandiri, dan tentu akan memberikan peluang yang lain untuk mendapatkan kesempatan yang sama. Tentu,banyak lembaga lain yang menjalankan hal serupa namun demikian, pertanggungjawaban harus bisa diakses orang ramai, sebagaimana kita dengan mudah melihat perkembangan dan kemajuan mustahik (penerima “amanah” lembu untuk diternakkan) dan telah diaudit laporannya dalam website. Semakin banyak lembaga seperti ini tumbuh, semakin banyak ikhtiar untuk merawat modal sosial. Dampak dari penguatan ini, sebagaimana Francis Fukuyama (2000) tegaskan, akan mengikis kerenggangan ikatan masyarakat dan kebangkrutan sosial.Semoga! Penulis: Postdoctoral Research Fellow di Universitas Sains Malaysia Sumber: Harian Seputar Indonesia, Kamis 26 November 2009 |
No comments:
Post a Comment