Sumber: Solo Pos, 12 Februari 2010
Ahmad Sahidah
Postdoctoral Research Fellow di Universitas Sains Malaysia
Perbincangan Kajian Islam keindonesiaan perlu mendapat keutamaan dalam wacana keagamaan. Meskipun kehadiran Islam Liberal atau Revivalis tidak dapat dielakkan karena pengaruh kesarjanaan Barat dan Timur Tengah yang begitu kuat, apatah lagi keduanya dipandang sebagai kuasa akademik yang telah mewarnai pergolakan pemikiran di seluruh pelosok dunia Muslim, namun sejatinya kekuatan dua kubu ini tidak menjadi penghalang tumbuhnya kelompok baru. Bagaimanapun, masing-masing mempunyai peran dan ranah yang diperlukan untuk akhirnya masyarakat menemukan sintesis yang makin meneguhkan penghayatan keagamaan mereka.
Harus diakui kegairahan untuk menghidupkan perbincangan isu keagamaan di sini membuncah, di mana kedua kelompok yang berseteru sama-sama berupaya agar pandangannya mengisi ruang publik secara dominan. Pendukung kedua belah pihak sama-sama merayakan kebesarannya masing-masing. Pada masa yang sama, muncul kelompok penengah yang mencoba untuk keluar dari kebuntuan ini. Mereka menamakan dirinya Progresif, yang percaya bahwa sudah saatnya umat menerjemahkan idealisme sosial di dalam al-Qur’an dan ajaran Islam ke dalam sebuah tindakan yang berkait dengan keadilan sosial. Lebih jauh, komunitas Muslim secara keseluruhan tidak bisa mencapai keadilan tanpa menjamin keadilan bagi perempuan Muslimah (Omid Safi, 2003).
Menengok liyan
Selama belajar di Universitas Sains Malaysia, saya tidak menemukan kegiatan seminar di kampus yang mencoba untuk mendatangkan para sarjana Muslim kritis seperti Abdullahi al-Naim, Abu Fadl, Nasr Abu Zayd dan Mohammed Arkoun, sebagaimana banyak dilakukan banyak kampus Indonesia. Di sana, kesarjanaan Islam Malaysia tidak bisa dilepaskan oleh bayang-bayang kebesaran Naquib al-Attas yang dikenal dengan gagasan Islamisasi pengetahuan. Boleh dikatakan sarjana negara tetangga lebih menitik beratkan kajian keislaman pada persoalan praktis, seperti ekonomi Islam, produktivitas zakat dan pengelolaan haji yang efektif.
Demikian pula, di media kita tidak menemukan diskursus keagamaan yang diperebutkan oleh banyak aliran sebebas di sini. Bahkan, Sisters in Islam, Lembaga Swadaya Masyarakat yang dianggap pengusung aliran liberal, tak bisa meninggalkan kepercayaan arus utama dengan mengasuh satu rubrik konsultasi berkait dengan isu wanita di harian terkemuka Utusan dengan tetap memanfaatkan undang-undang syariah yang diberlakukan di negeri jiran. Namun tetap saja, ulama, institusi agama dan perguruan tinggi tidak memberikan ruang pada NGO yang dimotori oleh Zainah Anwar ini untuk menyuarakan gagasan di khalayak lebih luas. Malah, mereka merekomendasikan agar lembaga yang berbasis di Petaling Jaya ini dibubarkan.
Para sarjana Muslim di sana lebih banyak menekuri kembali tradisi khazanah Muslim dan mencoba untuk menyalakan semangat Andalusia di mana kajian keilmuan Islam mencakup pelbagai disiplin. Menjadi sarjana Muslim tak cukup hanya dengan hanya menekuni ilmu-ilmu keislaman yang telah mapan, tetapi juga sains dan teknologi. Oleh karena itu, banyak sarjana mencoba untuk mengkaji banyak isu dengan pelbagai disiplin, tentu saja sarjana disiplin lain dilibatkan untuk menerjemahkan pesan Islam tentang pelbagai isu. Malah, warisan Mohammad Natsir tetap dilestarikan dengan pelbagai kegiatan, seperti penyelenggaraan konferensi pemikiran tokoh Masyumi dan Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII) ini di Kolej Universiti Islam Selangor yang dihadiri oleh Anwar Ibrahim, ikon reformasi, dan pemikiran Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan HAMKA diapresiasi dengan penerbitan kembali karya ulama yang juga novelis ini.
Teori dan Praktik
Sebenarnya, secara teoretik, diskursus keislaman berpijak pada tujuan syariah (maqasid al-syariah), namun praktiknya bagaimana memelihara agama, nyawa, akal, kehormatan, dan harta telah menimbulkan pertikaian pendapat, yang justeru tidak banyak tempat untuk diperdebatkan. Keasyikan berselisih pendapat mengenai kawin antaragama, kebenaran mutlak dan negara Islam, sebenarnya hanya memperlihatkan kegenitan kalau tidak berupaya mencoba mengurus persoalan khalayak yang lebih besar berkait dengan kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan.
Keberhasilan Malaysia dalam mengurus haji melalui Yayasan Tabung Haji sebenarnya tidak dilepaskan dari tangan-tangan terampil dalam bidang ekonomi dan manajemen. Jadi, persoalan haji tidak hanya menjadi wewenang sarjana agama, tetapi juga ahli lain yang terkait dengan pengurusan keperluan calon jamaah haji dari hulu ke hilir. Di sana, para sarjana tidak mengotak-atik hukum haji dengan menggugat kewajiban dan kemungkinan waktunya tidak hanya pada bulan Dzulhijjah saja, sehingga bisa menghindari kesesakan, justeru mereka menjadikan haji sebagai tantangan untuk menaikkan produktivitas, dengan mendorong pihak terkait menginvestasikan dana keuntungan pengelolaan haji dalam bidang perkebunan, perhotelan dan kegiatan ekonomi lain, dan bahkan mendorong para sarjana untuk membuat pengurusan haji lebi baik. Dari keuntungan inilah, rata-rata calon jamaah haji Malaysia mendapatkan pelayanan lebih baik dibandingkan sejawatnya dari Indonesia, berkaitan dengan penginapan, catering dan transportasi.
Demikian pula manajemen zakat yang melibatkan banyak sarjana ekonomi dan manajemen telah membuat Lembaga Zakat di pelbagai negara bagian menangguk dana yang melimpah. Dana tersebut telah banyak membantu kaum fakir Miskin, sehingga gubernur Selangor pernah mewacanakan untuk membagikan hasil zakat tersebut kepada warga non-Muslim, meskipun akhirnya ditentang banyak pihak. Dengan dana ini juga, banyak para pelajar yang mendapatkan faedah dari zakat melalui pemberian beasiswa. Perolehan dana yang besar itu disebabkan lembaga yang tidak hanya bertumpu pada zakat perorangan tetapi jaga zakat profesi dan perusahaan.
Adalah tidak salah membongkar kembali kemapanan sebuah dogma, namun pada waktu yang sama seharusnya kritisisme itu mempunyai jalan keluar mengubah keadaan. Justeru, penglibatan sarjana Muslim bidang lain dalam isu keagamaan merupakan solusi dari kebuntuan nilai-nilai formalitas yang dianggap melumpuhkan spirit nilai-nilai luhur. Selagi persoalan agama hanya dibingkai dalam perdebatan etik dan epistemologi, tanpa beranjak pada praktik, maka nilai-nilai pembebasan dari agama itu sendiri telah dikebiri. Jika tujuan syariah itu sendiri adalah memperbaiki kualitas manusia, maka diskursus keagamaan itu perlu memerhatikan pelbagai aspek. Dengan kata lain, Ia tidak terjebak pada gagasan untuk gagasan, tapi untuk tindakan dan perubahan. Kesadaran inilah yang tampaknya mendorong banyak sarjana di sana mengkaji Islam dari buminya sendiri.
No comments:
Post a Comment