Tuesday, March 30, 2010
Makassar
Tiba di Makasar dengan riang. Namun terkejut, ketika berada di sebuah auditorium sebuah universitas, foto wakil presiden masih terpampang Jusuf Kalla. Pertanda keengganan atau pemberontakan? Hal serupa juga terjadi di Madura, foto Gus Dur tetap tergantung manis di tembok setelah diturunkan dari kursi kepresidenan. Pendek kata, kehendal masyarakat setempat yang menghendaki tokoh bersangkutan tetap berhak untuk menempati kedudukan tersebut.
Sebenarnya, saya akan meletakkan gambar JK yang bersanding dengan SBY di blog ini, tetapi dibatalkan karena tidak ingin memantik perselisihan. Mungkin juga, pihak pengelola gedung enggan mengganti foto wakil presiden karena kebetulan berada di ketinggian. Namun aneh juga, sebab alasan ini tidak masuk akal karena pihak berwenang bisa meminta pegawai kebersihan untuk naik dan menggantinya. Jika ini protes, saya rasa masyarakat kita belum sepenuhnya menerima demokrasi. Andaian berkelebat. Mereka lebih nyaman melihat JK ada di situ.
Namun cerita atas tak mengusik perasaan nyaman saya selama berada di negeri Angin Mamiri. Makanan laut, keramahan dan keakraban warga, serta kenyamanan berada di luar ruang. Ia jelas lebih tidak hingar-bingar di bandingkan Jakarta. Malah, tempat-tempat bersejarah yang menyimpan cerita masa lalu dan suasana magis tumpah ruah. Dengan diantar oleh Prof Mustari, kami pun mengunjungi makam Syeikh Yusuf, pejuang kemerdekaan dua negara, Indonesia dan Afrika Selatan. Tak hanya itu, ustaz dari selatan Thailand memimpin bacaan surah yasin dan tahlil. Namun di tengah membaca kalimat tauhid, bau menyengat memenuhi ruangan. Ternyata seorang ibu membakar kemenyan.
Nah, karena ibu itu menyelipkan ibadah bidah, seorang teman menegurnya di luar. Itu tak elok. Namun, ibu berkerudung ungu itu menampik, dengan menegaskan setiap amal tergantung niat. Ada sedikit ketegangan, namun kami pun harus segera berlalu, menuju masjid tertua di Sulawesi Selatan, yang sekaligus halamannya dipenuhi kuburan keturuan kerajaan Goa. Saya pun tak tahu, apakah lumut yang menempel di tembok sengaja dibiarkan agar tampak kuno. Namun, kesan tak terawat segera menyergap.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Majemuk
Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...
No comments:
Post a Comment