Thursday, September 09, 2010

Menjelang Lebaran


Gambar di atas diambil beberapa hari yang lalu, ketika pengunjung bazaar Ramadhan masih dengan setia berkunjung ke lapak-lapak makanan dan minuman di depan asrama kampus. Kemarin, sekilas saya melihat hanya satu lapak yang masih berjualan. Suasana pun lengang. Para penjual mungkin sudah balik kampung untuk merayakan idul fitri bersama keluarga. Saya pun bersama isteri dan anak melakukan hal serupa, tidak mudik, melainkan membeli keperluan hari raya berupa sarung, jenama Mangga dan Gajah Duduk, dan baju koko bermerek Syawwal. Sementara untuk kopiah dan sandal saya tak perlu menggunakan barang baru, karena yang lama masih bisa dipakai.

Andaikan perubahan prilaku semudah kita memperbaharui barang kita, mungkin hidup ini terasa lebih mudah dijalani. Namun, kehendak seperti ini tak segampang kita membalikkan telapak tangan. Tapi, pengalaman berpuasa selama ini telah mengajarkan banyak hal bagi saya, menunda. Ternyata kenikmatan sesuatu itu semakin terasa, setelah kita mencoba untuk tak terburu-buru mencecapnya. Selain itu, ketergesaan hanya akan membuat kita memaksakan diri, seperti berhutang atau melahapnya sebelum matang. Untuk menunda, kesabaran saya pun acapkali ditantang, malah hanya hal ihwal sepele dan remeh temeh. Saya seakan-akan digelayuti beban menggunung untuk membuat hidup itu tertanggungkan. Padahal, siapa pun tahu keperluan kita terhadap benda hanya secuil, namun hasrat itu memaksa membuatnya bejibun.

Kadang, untuk membenarkan tindakan itu, saya pun memberikan pengesahan dengan pelbagai alasan. Misalnya, saya memerlukan telepon genggam terkini dan tercanggih untuk memudahkan pekerjaan. Padahal, diam-diam saya sedang mereka-reka bahwa dengan alat itu, kedudukan saya main mencorong, karena seleranya tampak mewah. Ya, alter ego itu kadang menyeruak begitu saja, tak dapat dicegah. Anehnya, pengalaman kecil di kampung diam-diam turut membentuk kepribadian, di mana kepemilikan benda merupakan penanda untuk membedakan diri dengan kebanyakan. Ups, apakah ini cara saya mengelak dari sifat-sifat tidak murni? Mengapa saya harus menafikan itu semua?

Setelah beranjak tua, saya pun tepekur bahwa kepemilikan benda itu tidak perlu disangkal sebagai pengotoran jiwa. Eskapisme adalah tanda kelemahan jika dijadikan pijakan untuk berdamai dengan kekalahan. Saya pun ingin memenangkan pertarungan dengan diri sendiri. Untuk itu saya membeli barang yang diproduksi sendiri. Siapa pun, termasuk saya, hanya memerlukan kenyamaan, namun pada waktu yang sama saya harus memikirkan bahwa pengorbanan itu adalah sejenis kenikmatan. Hanya saja, kata Rhoma Irama, pengorbanan harus disertai doa. Jadilah lagu Pengorbanan dan Doa itu menjadi suara latar untuk cetusan hari ini.

4 comments:

Titosdupolo (Colt T120) said...

Nah, itu dia, "pengorbanan dan doa"
Pengorbana dapat dinikmati, kalau jadi korban itu yang sukar diterima...

Alris said...

Selamat Hari Raya Idhul Fitri 1 Syawal 1431 H.
Mohon maaf lahir dan bathin

Ahmad Sahidah said...

Titos du Polo: Gus, menjadi korban? He..he.. Tak ada yang mau, kecuali tidak tahu.

Mohon maaf lahir dan batin, semoga kita masih bisa tertawa. Lalu, akhirnya kita pun menangis untuk diri sendiri. :-D

Ahmad Sahidah said...

Alris: Mas, terima kasih atas silaturahmi. Saya pun telah menelusuri rumah maya Anda.

Puasa [18]

Menelusuri IG, saya sering bersirobok dengan lagu-lagu Timur Tengah. Karena sering klik untuk menikmatinya, saya pun bertanya, mengapa saya ...