Tuesday, January 11, 2011

Pasar dan Modal

Saya merindukan pasar itu. Mungkin pengaturan sayur-mayur itu tak serapi di pasaraya, namun saya membauinya sebagai masa lalu di pasar kampung. Ia hadir di tengah kepungan pasaraya besar. Mungkin, harga segenggam kacang panjang lebih mahal dari pasaraya, namun kita tak akan bangkrut hanya karena membayar lebih sebesar RM 20 sen. Tapi, sayang, ia berada jauh dari tempat tinggal. Kami ke sana bersama tetangga baik hati, Pak Cik Yusuf dan Mak Cik Sri. Tentu saja, kami juga pergi bersama anak bungsunya, Iman, yang sangat dekat dengan si kecil, Nabbiyya.

Berbeda dengan pasaraya, di sana kami bertemu langsung dengan penjual, bukan kasir yang hanya menghitung uang. Ada senyum merekah ketika kami membeli segenggam bawang merah, sebelum harga bumbu dapur ini sekarang merangkak naik. Tak hanya merogoh kantong lebih dalam, kualitasnya juga tak baik, ini karena pengekspor barang ini, India dan China, dilanda bencana alam, sehingga produksi berkurang. Malah, berita koran kemarin, santan kelapa juga naik karena pasokan dari Sumatera makin berkurang setelah Semenanjung itu dihantam Tsunami.

Tuhan, doa kami agar bencana itu tak selalu menyergap kami. Meski kebutuhan sehari-hari melambung tinggi, namun petani tak banyak meraup untung. Pedagang telah mengambil jerih payah mereka untuk mengaut keuntungan. Sebagaimana di Indonesia, harga cabai makin mahal, tapi petani juga tak menangguk untung. Alamak, kenapa pedagang itu merampas hasil keringat orang lain? Lalu, pemerintah ada di mana? Oh, mereka sedang sibuk mengaca diri, berdandan untuk pemilu yang akan datang.

No comments:

Syawalan Kelimabelas

Saya akan menjemput Biyya seusai mengajar pada pukul 14.20. Ketika selesai mengajar Tafsir Modern dan Kontemporer, saya segera menuju parkir...