Siang yang terik membuat warga kampus mencari tempat berteduh. Tentu banyak kantin untuk mengelak panas, tapi saya memilih Anjung Semarak. Coba lihat atap yang terbuat dari kaca itu! Ada air mengalir tak henti-hati. Sementara, di ujung sana Taman Buku terbuka bagi siapa saja untuk menekuri dunia pengetahuan.
Pertemuan dengan teman baik, Sri Murniati, asal Jakarta, Al-Mustaqeem al Radhi asal Kuala Lumpur dan Yatno Ladiqi asal Surabaya menyempurnakan rasa teduh itu. Secara kebetulan, Mas Ray, asal Medan turut bergabung memeriahkan suasana menjelang sore itu. Obrolan pun memecah kebekuan, seraya mencomot banyak isu dan tema. Setiap orang mencetuskan gagasan, yang lain pun menanggapi. Perbincangan itu membuat saya belajar mendengar (listening), yang kata Willard Spiegelman dalam Seven Pleasures: Essays on Ordinary Happiness mendengarkan itu mendatangkan kebahagiaan.
Minuman itu mengandung es, sementara bolpoin adalah hadiah dari penginapan dan buku itu merupakan pemberiaan dua kawan baik, sebagaimana tertulis di pojok kiri bawah. Tak hanya buku itu, Mustaqeem juga memberi buku berjudul Liberalisme: Esei-Esei Terpilih F.A. Hayek. Tapi, apakah percakapan akan juga menyodorkan hal-hal berat sebagaimana dibuku? Mungkin, tapi bahasanya mungkin lebih cair. Saya rasa mengerutkan dahi di siang hari hanya akan menambah muka kita kusut. Lelucon dan humor pun bermunculan.
Siapa pun yang datang ke kantin itu akan merasakan suasana nyaman. Di sana, kita bisa berlama-lama karena tidak hanya menyemai pertemanan, tetapi juga menikmati suasana kampus yang riang. Pengunjung berdatangan dan tak satu pun di antara mereka menunjukkan wajah kusut dan muram . Satu hal lagi, harga minuman tak mahal, meskipun pelayanan sangat memuaskan. Dalam seminggu itu, saya sudah dua kali mereguk udara di kantin itu. Kerinduan pun muncul lagi. Mungkinkah ini lahir karena saya akan pulang? Ah, hidup itu memang selalu begitu, kita merasa kehilangan setelah kita hendak meninggalkan.
No comments:
Post a Comment