Ruang Putih Jawa Pos
Selasa, 1 Januari 2011 │7:28 AM
Oleh Ahmad Sahidah*
Perpustakaan Daerah Kota Malang mengalami nasib sial: buku-bukunya raib digondol oleh pengunjung. Adakah pencuri itu adalah mahasiswa yang menyukai buku, tetapi tak mampu membelinya? Atau ini tak lebih dari keisengan ‘kutu’ buku untuk menunjukkan bahwa kalau buku itu tak dicuri, ia tak akan dibaca, tergeletak di rak, mendebu sia-sia. Apa pun, kenyataan ini tentu memprihatinkan, namun tak harus membuat kita heran karena fenomena pencurian koleksi perpustakaan telah lama terjadi, tak mengenal tempat dan status. Nicholas A. Basbanes, dalam A Gentle Madness (1999) mengungkapkan tentang cerita seru orang yang mengidah penyakit tersebut, yang dikenal dengan biblioklepto.
Siapa pun mafhum kota Malang adalah salah satu bandar pelajar yang mempunyai begitu banyak perguruan tinggi. Sebagaimana Yogyakarta, perpustakaan daerah yang ada di Kota Dingin tersebut tentu menyedot kehadiran peminat buku. Tanpa pengawasan yang ketat, para pengutil itu berluasa untuk menggerogoti rak-rak buku. Gagasan untuk memasang Closed Circuit Television (CCTV) mungkin bisa mencegah siapa pun untuk membawa buku tanpa izin dan dengan sendirinya pencurian bisa dikurangkan. Tapi, bukankah pemasangan alat itu menunjukkan bahwa ruang yang seharusnya menjadi tempat menyemai budi pekerti dengan merawat nalar yang sehat melalui pembacaan gagal sejak awal?
Namun, di mana-mana, perpustakaan umum biasanya memasang barcode pada buku yang bisa menjadi alat detektor untuk menjejaki buku tersebut. Dengan alat di pintu keluar, koleksi tak akan mudah dicuri. Meskipun, barcode itu tetap bisa ditanggalkan dan pencurinya akan menyimpan di balik baju. Malah, di Yogyakarta, seorang mahasiswa melempar buku itu melalui jendela, lalu mengambilnya tanpa harus menanggung debaran jantung ketika melewati pintu keluar. Tentu saja, perbuatan seperti ini merupakan contradictio in terminis, di mana seseorang mencintai pengetahuan, namun dengan cara berbuat yang terlarang. Boleh jadi, yang bersangkutan telah gagal sejak awal, bahwa pengetahuan itu adalah jalan menuju kearifan. Ketika ia mencuri untuk meraih pengetahuan, ia telah melempar buku itu ke jamban.
Saran salah seorna ganggota DPRD lokal untuk memperketat pengamanan tentu bukan jalan keluarga yang berjangka panjang. Dengan CCTV di setiap sudut ruangan, gerak pengunjung yang berniat jahat terbatas. Padahal, pemasangan alat pengintai ini dengan sendirinya membuat perpustakaan tak lebih dari penjara, di mana CCTV adalah alat yang lebih kejam dari menara di penjara yang berperan sebagai panoptikon dalam relasi kuasa dan pengetahuan Michel Foucault. Seharusnya, perpustakaan menjadi tempat yang nyaman bagi pengunjung. Oleh karena itu, yang paling mungkin adalah membuat perpustakaan lebih longgar dan transparan. Betapa kebanyakan perpustakaan daerah tampak tidak terurus, sehingga pengunjung beranggapan bahwa buku-buku yang ada di dalamnya mungkin tidak akan terawat, sehingga perlu diselamatkan.
Lebih jauh, tanpa berprasangka bahwa pelaku tersebut adalah mahasiswa, kita mungkin perlu menelisik ulang bahwa harga buku masih belum terjangkau oleh kantong mahasiswa kebanyakan. Selain mahal, mahasiswa mungkin lebih mengutamakan membeli buku teks sebagai bahan untuk mengikuti ujian, sementara buku-buku tambahan yang menantang pikiran diabaikan. Atau, sebagaimana dikeluhkan orang ramai, banyak mahasiswa memilih membeli pulsa untuk memenuhi gelegak kekiniannya, atau lebih memburu laptop agar bisa senantiasa memperbaharui status facebook dan twitter. Ironis, mahasiswa tidak lagi berpikir sehat bahwa keutamaan dalam masa pembelajaran adalah pergulatan dengan bahan bacaan, baik dengan meminjam atau membeli. Mungkin, buku kecil Muhidin M Dahlan, Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta membantu siapa pun untuk menggilai dengan memiliki buku, tetapi itu bukan sekadar menambah koleksi di rak kos, tetapi sebuah perjuangan hidup dan mati dan akhirnya berbuat karya yang abadi.
Malangnya, menurut Kepala Perpustakaan Umum dan Arsip Kota Malang Muyono, sedikitnya ada 3000 eksemplar buku yang tidak layak karena rusak, baik karena dicorat-coret peminjam, sampul bukunya yang rusak atau halaman bukunya yang hilang. Vandalisme ini tentu makin memburukkan wajah pelajar dan mahasiswa jika prilaku tak berkeadaban ini dilakukan oleh insan terpelajar. Oleh karena itu, etika pembelajaran itu bukan sekadar menghormati guru, tetapi juga buku. Sebagaimana asal kata vandalisme, yaitu, vandals, suku di Eropah yang menghancurkan kota Romawi pada 445 Masehi, maka perbuatan merusak hal-hal yang dianggap kecil akan merembet pada pengrusakan milik publik yang lain, seperti telepon umum, jembatan, gedung-gedung publik, pencurian kabel PLN dan jaringan telepon.
Lalu, apa yang harus dilakukan pemerintah? Apakah dengan menggelontorkan uang 1 Miliar dan perbaikan gedung perpustakaan akan mengurangkan pencurian buku? Mungkin ya, namun lebih jauh anggota legislatif mendorong pemerintah untuk membebaskan pajak bagi kertas bahan cetak buku agar penerbit bisa menjual buku dengan harga terjangkau. India telah melakukan ini, sehingga banyak buku yang bisa dimiliki oleh orang ramai tanpa menguras kantong. Tampaknya, seruan pembebasan pajak untuk kertas dari pegiat buku tak mendapatkan respons yang memadai. Pemerintah dan anggota DPR lebih prihatin pada ihwal remeh-temeh, seperti pemugaran pagar Istana Merdeka dan rumah aspirasi. Demikian pula, untuk anggota legislatif daerah yang hanya menggelontorkan sedikit dana untuk perpustakaan, sementara biaya untuk jalan-jalan membengkak tak karuan.
Bandingkan dengan negeri jiran! Untuk anggaran tahun 2012 Pemeritah Malaysia memberikan kupon Buku RM 200 (sekitar Rp 560 ribuan) untuk setiap mahasiswa, agar mereka menebus buku yang digemari dengan kupon yang dimaksud. Tak hanya itu, pemerintah juga menyubsidi buku-buku terbitan asing, sehingga buku luar negeri sekalipun tidak mahal. Belum lagi perpustakaan umum dan kampus yang begitu sempurna dengan koleksi yang selalu diperbaharui menjadikan ruang ini senantiasa nyaman untuk berselancar mencari maklumat dan pengetahuan. Perpustakaan almamater saya, Universitas Sains Malaysia misalnya, betul-betul memerhatikan perawatan fisik dan penyedian ruang khas untuk mendengarkan pelbagai genre musik, yang menjadi oase bagi mahasiswa untuk sejenak beristirahat dari memelototi huruf-huruf. Perpustakaan bukan sekadar tempat untuk memajang buku, kursi dan meja. Seharusnya, ia menjadi pusat sehenti (pelayanan satu atap) agar mereka yang mengunjungi perpustakaan betah berada di dalamnya. Tentu saja, kita tak lagi mengandaikan maling buku budiman, sebab tujuan semulia apa pun tidak dengan sendirinya menghalalkan segala cara.
1 comment:
Terima kasih atas pencerahannya, Semoga dapat memberi sumbangsih pemikiran atas peristiwa yang ada di Perpustakaan kami. Terlepas dari itu semua, budaya, disiplin serta rasa memiliki akan sebuah fasilitas umum memang masih rendah. Bahkan pemenuhan kebutuhan informasi masih pada taraf memenuhi tugas kuliah, bukan pada taraf memperkaya pengetahuan dari berbagai buku sebagai bentuk rangkaian berpikir. Kami, dalam segala hal keterbatasan berharap bantuan dari segala pihak dalam hal memikirkan perilaku biblioklepto serta vandalism tersebut. Terima kasih. Santoso Mahargono Pustakawan.
Post a Comment