Sumber: Majalah Tempo, 21 November 2011
Bahasa!
Oleh: Ahmad Sahidah
Kemusnahan bahasa tidak terelakkan disebabkan alasan kesejarahan, demografi atau bahkan serbuan bahasa asing. Yang terakhir kadang dibenarkan untuk menjadikan bahasa tertentu bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman melalui penyerapan kosa kata baru. Belum lagi, ikhtiar penerjemahan ilmu pengetahuan dan istilah teknologi modern memaksa pegiat bahasa untuk mengerutkan dahi dalam memastikan bahasa sasaran, bahasa Indonesia, tidak semakin pupus. Yang merepotkan, penerjemahan bahasa filsafat, yang meskipun susunannya bukan sama sekali baru, tetapi mengandaikan pemahaman tertentu membuat dosen mengambil jalan mudah dengan penyerapan begitu saja thing-in-itself menjadi sesuatu-dalam-dirinya.
Gagasan Kant tentang noumena di atas tentu masih bisa dipahami dengan menyebut sesuatu-dalam-dirinya. Lalu, bagaimana dengan istilah filsafat yang mengandaikan kata benda yang dibentuk dengan pengimbuhan pe-an yang bermakna proses menjadi? Kata dasar hancur akan berarti proses menjadi hancur dengan imbuhan pe-an. Malangnya, penghancuran tidak digunakan untuk menggantikan kata dekonstruksi, sebagai kata kunci dalam pemikiran Jacques Derrida. Demikian pula, penyerapan kata diferénsiasi yang diartikan sebagai berikut: 1. Proses, cara, perbuatan membedakan; pembedaan; 2.Perkembangan tunggal, kebanyakan dari sederhana ke rumit, dari homogen ke heterogen; dan 3.Proses pembedaan hak dan kewajiban warga masyarakat berdasarkan perbedaan usia, jenis kelamin, dan pekerjaan.
Jika -isasi dimasukkan dalam kamus kita, apakah kata diferensiasi di atas merupakan bentukan dari akhiran -isasi dan diferens? Tentu tidak, karena kata yang terakhir ini tidak ditemukan dalam kamus. Lalu, mengapa kita hanya mengambil turunan kata bahasa Inggeris dan tidak kata dasarnya, differ?
Menariknya, kalau kita lihat makna diferensiasi ketiga, kita bisa menerka bahwa itu adalah pengertian sosiologis. Pendek kata, kata itu telah mengalami penafsiran lebih jauh tentang pembedaan struktur masyarakat. Lalu, apakah pembedaan mengandaikan makna kata diferesiasi? KBBI pun tak berani untuk menyejajarkan dua kata yang sebenarnya merupakan padanan. Kamus kita hanya mengartikan pembedaan sebagai berikut, proses, cara, perbuatan membedakan.
Akibat kegagapan kamus, orang ramai pun merasakan perbedaan antara pembedaan dan diferensiasi. Kaum cerdik pandai akan mengutamakan terakhir jika berbicara susunan masyarakat dalam perbincangan ilmiah. Malah, hal serupa, klasifikasi, yang mengandung arti yang sama dengan pengelompokan, tak menyurutkan langkah mereka untuk menggunakan yang terakhir. Malangnya, penggunaan kata pengklasifikasian juga ditemukan, yang jelas-jelas berlebihan. Berbeda dengan bahasa Malaysia, kata klasifikasi diterjemahkan dengan pengelasan, yang merupakan gabungan antara imbuhan pe-an dengan kelas. Sepatutnya, pengelasan juga bisa digunakan, mengingat kata kelas, yang berasal dari class, telah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Apa lacur, kamus kita hanya berhenti di kata mengelaskan untuk menunjukkan memperlakukan orang lain berdasarkan kelas atua kedudukan. Mungkin, kata pengelasan dianggap lebih cocok untuk proses menyambungkan besi dengan cara membakar.
Tentu, keengganan kita untuk menggunakan imbuhan pe-an disebabkan padanan dalam bahasa Indonesia yang terlalu panjang. Misalnya, dehumanisasi yang berarti penghilangan harkat manusia akan membuat penutur merasa tidak bisa mengungkapkan gagasan besar tentang humanisme jika tidak menggunakan dehumanisasi dan merasa tak sepenuhnya menerima padanannya dalam bahasa Indonesia. Apatah lagi, imbuhan de yang bermakna hilang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia untuk membuka jalan agar bahasa Indonesia berlimpah kosa kata. Padahal sejatinya, ia telah mengubur khazanah sendiri dan makin membuat orang ramai malas untuk mencari sinonim dalam bahasa setempat.
Sementara, bahasa Malaysia mencoba memanfaatkan kata nyah untuk dipadankan dengan de agar istilah-istilah asing yang bermakna negatif, seperti un, anti dan dis, bisa diterjemahkan ke dalam bahasa tempatan. Adalah tidak aneh, jika Karim Raslan, kolomnis ternama, menggunakan penyahpusatan untuk menyebut desentralisasi dan penyahisanan untuk dehumanisasi. Mungkin, kita merasa aneh mendengar kata majemuk yang mendapatkan imbuhan pe-an seperti di atas, meskipun masing-masing penggalan kata dari keduanya bisa ditelusuri di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Yang menarik, ketika kita akrab dengan kata pengumuman, yang berasal dari pe-an dan umum, hampir-hampir kita tak menggunakan kata pengkhususan sebagai padanan kata spesialisasi. Kita akan menyebut dokter spesialisasi jantung, meskipun kita pun juga mengenal dokter umum. Sementara orang negeri jiran akan memilih dokter pakar untuk mengelak dari penggunaan kata berakhiran -isasi, walaupun belakangan ini ada kecenderungan mereka menyuburkan pemakaian kata berakhiran -isasi di tempat lain, seperti realisasi, yang sebelumnya lebih mengutamakan kata perwujudan. Bagaimanapun, kita tak menyangkal –isasi, tetapi membiarkan kedigdayaan pe-an surut, secara perlahan imbuhan ini akan musnah.
*) Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia
No comments:
Post a Comment