Saturday, May 05, 2012

Menemukan Identitas Melayu di Leiden




Pengalaman yang mungkin paling berkesan terkait penelitian yang pernah saya lakukan adalah ketika saya menerima manuskrip dari Perpustakaan Universitas Leiden. Sebagai asisten peneliti Prof Zailan Moris, saya harus bekerja untuk mengumpulkan bahan-bahan terkait manuskrip Bahr al-Lahut, yang ditulis oleh Abdullah Arief. Sayangnya, kami hanya mendapatkan satu versi yang dikoleksi oleh Perpustakaan Negara Malaysia dengan nomor panggilan MMS 1314 (U).

Di tengah kegundahan, saya pun mencoba menghubungi Martin van Bruinessen, sarjana Kajian Islam, untuk mendapatkan salinan naskah Bahr al-Lahut. Tak perlu waktu lama, saya pun mendapatkan jawaban berupa rekomendasi pada pustakawan Silvia Compaan-Vermetten, yang menangani koleksi khusus. Dengan bayaran 72.40 Euro,  saya mendapatkan manuskrip dengan pelbagai versi, yaitu Bencoolen. f. 33r-37v. 18th c.?, Snouck Hurgronje from the former. f. 21v-24r, Bodjonegoro (Java). p. 17-28., interlinear translation in Javanese. f. 1v-9r., versi serupa f. 3v-15r, 1912.

Kehadiran pelbagai versi naskah di atas betul-betul memantik semangat kami untuk menerokai lebih jauh kandungan manuskrip yang merupakan penanda penting bagi kesarjanaan awal Islam terkait wacana keagamaan. Betapa pandangan kami terhadap naskah berubah dan bertambah luas. Dengan hanya merujuk pada satu versi, tentu kami tidak akan menguak lebih jauh kandungan teks ini. Kehadiran tujuh versi teks yang disimpan oleh Universitas Leiden tentu membuka pandangan baru terhadap masa lalu kita.

Dari naskah Bahr al-Lahut di atas yang saya teliti menunjukkan bahwa corak Islam pertama yang dibawa ke Nusantara dipengaruhi oleh ajaran Syi’ah. Lebih dari itu, penulisnya, Abdullah ‘Arif,  telah mengakrabi pemikiran filsafat Yunani. Tentu hal ini bisa dipahami karena menurut sejarawan tersohor Philip K Hitti, sejak masa pra-Islam, Islam dan pasca Islam saling berbagi tradisi budaya dengan Barat dan Yunani-Romawi. Lalu, masihkah kita menghabiskan banyak waktu dan energi mencari ajaran murni yang steril dari pengaruh yang lain?

Mungkin, pernyataan awal yang memantik rasa ingin tahu pembaca adalah penegasan Abdullah Arif, bahwa dengan membaca karya di atas seseorang akan mengecapi kebahagiaan. Pendakwah ini hanya memberikan tiga kewajiban yang harus ditunaikan, yakni shalat, puasa dan tafakkur yang akan membuat seseorang bahagia dan amalan yang terakhir ini lebih baik dari seribu tahun ibadah. Tepekur tentu saja mengandaikan penguasaan pengetahuan.

Walaubagaimanapun, ibadah yang mendatangkan kebahagiaan itu harus didasarkan pada akidah yang kokoh. Kedua, sembahyang harus dilakukan secara khusyu’ dan berpuasa baik wajib dan sunnah. Ketiga, seorang Muslim harus memiliki pengetahuan, karena sebagaimana dinyatakan dalam Hadith yang dikutip oleh pengarang bahawa barang siapa yang bertafakkur satu saat lebih baik daripada beribadah selama  seribu tahun. Pendek kata, akidah yang kukuh, ibadah dan kecintaan pada ilmu adalah kunci agar manusia berbahagia. Di dalam kitab ini, tidak ada sama sekali kenyataan bahawa harta atau kedudukan boleh membuat orang ramai berbahagia.

Akhirnya, di luar kepentingan kajian manuskrip yang diuraikan secara singkat di atas, kita harus memberikan penghargaan kepada perpustakaan Universitas Leiden yang merawat khazanah manuskrip yang tak ternilai harganya. Apatah lagi, saya hanya menjumpai satu versi di Perpustakaan Nasional di Jakarta. Sayangnya, naskah yang memuat Bahr al-Lahut tampak tidak terawat di negerinya sendiri karena pengunjung bisa meminjam langsung akses ini dan yang paling mengenaskan saya menemukan begitu banyak coretan oleh tangan-tangan jahat. 

No comments:

Majemuk

Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...