Pengalaman
yang mungkin paling berkesan terkait penelitian yang pernah saya lakukan adalah
ketika saya menerima manuskrip dari Perpustakaan Universitas Leiden. Sebagai
asisten peneliti Prof Zailan Moris, saya harus bekerja untuk mengumpulkan
bahan-bahan terkait manuskrip Bahr al-Lahut, yang ditulis oleh Abdullah
Arief. Sayangnya, kami hanya mendapatkan satu versi yang dikoleksi oleh
Perpustakaan Negara Malaysia dengan nomor panggilan MMS 1314 (U).
Di tengah
kegundahan, saya pun mencoba menghubungi Martin van Bruinessen, sarjana Kajian
Islam, untuk mendapatkan salinan naskah Bahr al-Lahut. Tak perlu
waktu lama, saya pun mendapatkan jawaban berupa rekomendasi pada pustakawan
Silvia Compaan-Vermetten, yang menangani koleksi khusus. Dengan bayaran 72.40
Euro, saya
mendapatkan manuskrip dengan pelbagai versi, yaitu Bencoolen. f. 33r-37v. 18th
c.?, Snouck
Hurgronje from the former. f. 21v-24r, Bodjonegoro (Java). p. 17-28., interlinear translation in
Javanese. f. 1v-9r., versi
serupa f.
3v-15r, 1912.
Kehadiran pelbagai versi naskah di atas
betul-betul memantik semangat kami untuk menerokai lebih jauh kandungan
manuskrip yang merupakan penanda penting bagi kesarjanaan awal Islam terkait wacana
keagamaan. Betapa pandangan kami terhadap naskah berubah dan bertambah luas. Dengan
hanya merujuk pada satu versi, tentu kami tidak akan menguak lebih jauh kandungan
teks ini. Kehadiran tujuh versi teks yang disimpan oleh Universitas Leiden
tentu membuka pandangan baru terhadap masa lalu kita.
Dari naskah Bahr al-Lahut di atas yang saya
teliti menunjukkan bahwa corak Islam pertama yang dibawa ke Nusantara
dipengaruhi oleh ajaran Syi’ah. Lebih dari itu, penulisnya, Abdullah ‘Arif, telah mengakrabi pemikiran filsafat Yunani.
Tentu hal ini bisa dipahami karena menurut sejarawan tersohor Philip K Hitti,
sejak masa pra-Islam, Islam dan pasca Islam saling berbagi tradisi budaya
dengan Barat dan Yunani-Romawi. Lalu, masihkah kita menghabiskan banyak waktu
dan energi mencari ajaran murni yang steril dari pengaruh yang lain?
Mungkin, pernyataan awal yang memantik rasa ingin tahu
pembaca adalah penegasan Abdullah Arif, bahwa dengan membaca karya di atas
seseorang akan mengecapi kebahagiaan. Pendakwah ini hanya memberikan tiga
kewajiban yang harus ditunaikan, yakni shalat, puasa dan tafakkur yang
akan membuat seseorang bahagia dan amalan yang terakhir ini lebih baik dari
seribu tahun ibadah. Tepekur tentu saja mengandaikan penguasaan pengetahuan.
Walaubagaimanapun, ibadah yang mendatangkan kebahagiaan
itu harus didasarkan pada akidah yang kokoh. Kedua, sembahyang harus dilakukan secara
khusyu’ dan berpuasa baik wajib dan sunnah. Ketiga, seorang Muslim harus
memiliki pengetahuan, karena sebagaimana dinyatakan dalam Hadith yang dikutip
oleh pengarang bahawa barang siapa yang bertafakkur satu saat lebih baik
daripada beribadah selama seribu tahun.
Pendek kata, akidah yang kukuh, ibadah dan kecintaan pada ilmu adalah kunci
agar manusia berbahagia. Di dalam kitab ini, tidak ada sama sekali kenyataan
bahawa harta atau kedudukan boleh membuat orang ramai berbahagia.
Akhirnya, di
luar kepentingan kajian manuskrip yang diuraikan secara singkat di atas, kita
harus memberikan penghargaan kepada perpustakaan Universitas Leiden yang
merawat khazanah manuskrip yang tak ternilai harganya. Apatah lagi, saya hanya
menjumpai satu versi di Perpustakaan Nasional di Jakarta. Sayangnya, naskah
yang memuat Bahr al-Lahut tampak tidak terawat di negerinya sendiri karena
pengunjung bisa meminjam langsung akses ini dan yang paling mengenaskan saya
menemukan begitu banyak coretan oleh tangan-tangan jahat.
No comments:
Post a Comment