Setelah membaca pengantar dan beberapa tulisan untuk menjawab pertanyaan, "Is the internet changing the way what you think", saya memunggah coretan di dinding Facebook apa yang ditulis oleh Kevin Kelly, penulis What Technology Wants, "Saya bahagia berenang dalam lautan fragmen".
Ya, internet telah membuat penggunanya berpikir lebih aktif, kurang perenungan. Mereka acapkali melompat dari satu isu ke isu yang lain. Tidak ada kedalaman. Lihat, sampul buku ini memperlihatkan patung Rodin tidak lagi berpikir, tetapi berselancar menikmati gelora.
Tetapi, buku ini tak menjadi hakim atas internet sebagai terdakwa. Cliffort Pickover dalam "The Rise of Internet Prosthetic Brains and Soliton Personhood" mengutip kajian tentang pengaruh individu dalam jaringan sosial terhadap kesehatan dan kebahagian pengguna (hlm. 309). Jadi, internet bisa digunakan untuk secara sadar memilih sesuatu yang mendatangkan faedah.
Saya sendiri tentu perlu memeriksa kembali jam penggunaan internet agar manfaat dan mudaratnya bisa ditimbang. Mesti diakui bahwa saya mengambil untung dari data dan fitur lain yang ada dalam internet, tetapi pada waktu yang sama ia bisa memerangkap keasyikan karena bisa mengalihkan (kata distraction banyak ditemui dalam banyak tulisan) dari perhatian pada satu pekerjaan. Sejatinya, saya pun acap berpindah dari satu tulisan dari tulisan yang lain dari buku ini karena keterbatasan akses pada uraian yang dilatarbelakangi pelbagai disiplin yang mempunyai istilah teknis khusus.
Kesulitan membaca buku ini disebabkan latar belakang penulisnya yang beranekaragam, seperti psikologi, jurnalisme, fisika, sains komputer, antropologi, filsafat, artis, dan sejarah. Apapun, secara umum mereka mengakui bahwa secara sosial, kehadiran internet membuat orang mudah bersosialiasi dan pada waktu yang sama terasing. Lebih mengerikan, seperti ditulis oleh Noga Arikha, internet bisa menyebabkan kehilangan kesentosaan karena ia bisa mengasingkan kita dari banyak hal (hlm. 41). Tak pelak, salah satu yang saya sempat catat dari karya ini adalah pesan, gunakan internet dengan penuh kearifan!
Apapun, di sela-sela menulis blog ini, saya mendengarkan radio Retjo Buntung melalui internet. Kalaupun saya menikmati gending-gending dan lagu-lagu Jawa, sejatinya saya hanya ingin menghadirkan suasana Jawa, tempat saya meneroka dunia pengetahuan dan kampung halaman isteri. Berkat internet pula, saya bisa menghadirkan masa kecil melalui penelusuran karya Rhoma Irama dalam Youtube. Bahkan melalui saluran yang terakhir pula, saya bisa menikmati dengan magis lagu Lebaran oleh Latif M yang berirama gambus. Malah, syair kematian Ustaz Aminullah Murad tak hanya mengingatkan pengalaman mendengar suara menggetarkan samar-samar dari kejauhan, tetapi juga melatih diri untuk siap menuju alam kubur. Akhirnya, betul bahwa internet itu bukan tujuan, tetapi sarana atau cara.
Ya, internet telah membuat penggunanya berpikir lebih aktif, kurang perenungan. Mereka acapkali melompat dari satu isu ke isu yang lain. Tidak ada kedalaman. Lihat, sampul buku ini memperlihatkan patung Rodin tidak lagi berpikir, tetapi berselancar menikmati gelora.
Tetapi, buku ini tak menjadi hakim atas internet sebagai terdakwa. Cliffort Pickover dalam "The Rise of Internet Prosthetic Brains and Soliton Personhood" mengutip kajian tentang pengaruh individu dalam jaringan sosial terhadap kesehatan dan kebahagian pengguna (hlm. 309). Jadi, internet bisa digunakan untuk secara sadar memilih sesuatu yang mendatangkan faedah.
Saya sendiri tentu perlu memeriksa kembali jam penggunaan internet agar manfaat dan mudaratnya bisa ditimbang. Mesti diakui bahwa saya mengambil untung dari data dan fitur lain yang ada dalam internet, tetapi pada waktu yang sama ia bisa memerangkap keasyikan karena bisa mengalihkan (kata distraction banyak ditemui dalam banyak tulisan) dari perhatian pada satu pekerjaan. Sejatinya, saya pun acap berpindah dari satu tulisan dari tulisan yang lain dari buku ini karena keterbatasan akses pada uraian yang dilatarbelakangi pelbagai disiplin yang mempunyai istilah teknis khusus.
Kesulitan membaca buku ini disebabkan latar belakang penulisnya yang beranekaragam, seperti psikologi, jurnalisme, fisika, sains komputer, antropologi, filsafat, artis, dan sejarah. Apapun, secara umum mereka mengakui bahwa secara sosial, kehadiran internet membuat orang mudah bersosialiasi dan pada waktu yang sama terasing. Lebih mengerikan, seperti ditulis oleh Noga Arikha, internet bisa menyebabkan kehilangan kesentosaan karena ia bisa mengasingkan kita dari banyak hal (hlm. 41). Tak pelak, salah satu yang saya sempat catat dari karya ini adalah pesan, gunakan internet dengan penuh kearifan!
Apapun, di sela-sela menulis blog ini, saya mendengarkan radio Retjo Buntung melalui internet. Kalaupun saya menikmati gending-gending dan lagu-lagu Jawa, sejatinya saya hanya ingin menghadirkan suasana Jawa, tempat saya meneroka dunia pengetahuan dan kampung halaman isteri. Berkat internet pula, saya bisa menghadirkan masa kecil melalui penelusuran karya Rhoma Irama dalam Youtube. Bahkan melalui saluran yang terakhir pula, saya bisa menikmati dengan magis lagu Lebaran oleh Latif M yang berirama gambus. Malah, syair kematian Ustaz Aminullah Murad tak hanya mengingatkan pengalaman mendengar suara menggetarkan samar-samar dari kejauhan, tetapi juga melatih diri untuk siap menuju alam kubur. Akhirnya, betul bahwa internet itu bukan tujuan, tetapi sarana atau cara.
3 comments:
Kiai Aminullah Murad baru saja wafat sekitar 2 tahun yang lalu
Terima kasih Mas Kiai. Alfatihah. Kematian bukan akhir, tetapi ia hadir dengan cara lain, yaitu melalui syair.
Kyai Aminullah Murad adalah legenda... Semoga Khusnul khatimah
Post a Comment