Tuesday, May 30, 2017

Ramadan di Bukit Kachi [3]

Hingga hari ketiga, selain menikmati kurma, kami mengudap buah mangga. Heran, tak bosan-bosan. Mungkin, saya tak bisa sepenuhnya menjadi penjemu hanya karena mengulang hal yang sama, seperti dalam film Cafe (2010).

Tapi, makan hanya memenuhi beberapa menit dalam 24 jam keseharian kita. Aneh, jika kebiasaan ini tidak betul-betul dijaga untuk menyangga tubuh. Sejauh ini, kelezatan terkait dengan rasa yang yang dibiasakan dalam pola makan sehari-hari. Hingga ke hari ini, saya belum bisa menikmati mayoinnase sesedap sambal, baik petis, kacang, dll.

Asupan lain adalah bermain dan berhibur. Itupun ada batas. Beruntung, di tengah kesenangan membaca teks filsafat dan disiplin lain, saya juga bisa menikmati dalam versi dokumenter, seperti yang dihasilkan oleh The School of Life. Ini hiburan lain yang bisa dinikmati dari fasilitas internet yang disediakan tak terbatas oleh universitas. Dalam persembahan dengar-pandang (audio-visual), tokoh-tokoh pemikir seakan hidup kembali. Ternyata, mereka seperti kita, tidur, makan, dan berpesta, seperti pada seri Immanuel Kant. Betapa pun penulis Critique of Pure Reason membesar dalam keluarga yang taat beragama, ia hendak menggantikan otoritas agama dengan akal budi.    

No comments:

Majemuk

Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...