Wednesday, May 31, 2017

Ramadan di Bukit Kachi [4]

Sahur hari ke-empat berjalan seperti biasa. Gerimis turun. Menu berupa nasi, sayur, dan berlauk tempe dan telur terhidang. Secawan kopi jahe menghangatkan badan. Sesudah Subuh, hujan deras mengguyur tanah. Saya sempat berdiri di balkon untuk menikmati suara air yang tumpat dari langit, sekali-kali melemparkan pandangan ke asrama mahasiswa. Suasana tenang. Meskipun ribuan orang tinggal di sana, mereka tidak bising.

Pada hari ke-dua, Biyya sempat bertanya kapan mau pergi ke Bazar Ramadan. Mengingat persediaan kebutuhan pokok masih ada, kami menunda. Baru hari ini kami pergi ke Changlun. Di tengah menyusuri lapak, saya sempat mengambil gambar kedai Nasi Ambeng. Ada banyak pelanggan antri. Namun, sebelumnya kami telah memesan makan berbuka di warung Thailand, sehingga tak membeli nasi yang dicampur dengan parutan kelapa, ayam, mie, dan sayur dalam satu piring ini. Di depan warung ini, saya sempat bertemu dengan Dr Hilmi, dosen fakultas Bahasa, Peradaban dan Filsafat.

Hikmah berbuka adalah kami duduk bersama untuk makan sehingga Zumi yang agak susah menelan nasi turut menikmati masakan khas negeri Gajah Putih. Sebelumnya, agar duduk diam, kami membelikan mainan mobil-mobilan buatan China. Murah dan praktis. Setelah selesai, sisa nasi di piring dipindah ke bak truk mainan. Tak hanya di warung, bahkan di kamar mandi, si bungsu ini membawa mainannya. Sementara, untuk pertama kalinya, Biyya bertanya bagaimana mengucapkan saya lapar dalam bahasa Madura? Tukas saya, "Engko' lapar". Kalau tidak lapar? Engko' tak lapar. Lalu, di menyusun kalimat, engko' tak lapar karena sudah makan (seharusnya: la marรจ ngakan). Aha, ini hukum kausalitas, bukan?


No comments:

Syawal Keempatbelas

Kami memenuhi undangan tetangga untuk memperingati 100 hari kepergian Pak Muhammad Imam Wahyudi. Sebelumnya kami mendapat surat undangan unt...