Hampir segenap seminggu, saya baru berjumpa secara kebetulan dengan ustaz di pagar masjid. Ia pun bertanya, "Balik kampung?", Saya menukas, "Ya, kami akan mudik". Saya melihat aura yang tenang dan ramah dari staf Pusat Islam ini.
Untuk hari itu, saya melakukan aktivitas seperti biasa, mengantarkan Biyya ke sekolah dan lalu ke kampus. Sepanjang perjalanan, kami bicara banyak hal. Sekali waktu, ketika kakak Zumi ini asyik dengan pikirannya, saya memerhatikan pagi yang lengang karena warung di tepi jalan tutup. Selalu saja sinar matahari pagi yang menimpa bukit itu mendatangkan ketakjuban.
Seperti direncanakan malam sebelumnya, kami ingin berbuka di Mal Aman Central. Seperti tampak dalam gambar, saya dan Zumi sempat berfoto bersama di miniatur masjid yang sengaja direka untuk menyambut Ramadan. Ada pohon kurma, yang tampak seperti asli, padahal terbuat dari plastik. Pelantang suara memutar instrumentalia padang Pasir dengan suara biola yang dominan, tak lama kemudian lagu bertema hari raya berkumandang. Alahai, baru hari ke-6 nyanyian lebaran telah menggema.
Sambil menunggu berbuka, sebelumnya kami telah memesan nasi penyet di warung yang bersebelahan dengan KFC, McDonald dan Johny's di lantai 1, kami menghabiskan waktu di toko buku Popular dan duduk di area ini. Biyya membeli satu buku The Little Brown Bear sebagai bahan bacaan di kampung halaman. Sebelumnya murid UUM IS juga mengoleksi satu buku dari seri yang sama untuk dibaca dalam perjalanan. Saya pun membeli buku Jonathan Taplin berjudul Move Fast and Break Things, yang disisipi keterangan how Facebook, Google and Amazon have cornered culture and what it means for all of us. Saya sengaja menggarisbawahai kata means, karena lema ini kata kunci. Ketika blog ini ditulis, karya tersebut masih bersampul plastik. Pengalaman hari ini mengingatkan saya pada status Facebook Hairus Salim, antropolog Jogjakarta, bahwa mal adalah tempat orang ramai menghadirkan hasrat berbelanja, berbudaya, dan beragama.
Untuk hari itu, saya melakukan aktivitas seperti biasa, mengantarkan Biyya ke sekolah dan lalu ke kampus. Sepanjang perjalanan, kami bicara banyak hal. Sekali waktu, ketika kakak Zumi ini asyik dengan pikirannya, saya memerhatikan pagi yang lengang karena warung di tepi jalan tutup. Selalu saja sinar matahari pagi yang menimpa bukit itu mendatangkan ketakjuban.
Seperti direncanakan malam sebelumnya, kami ingin berbuka di Mal Aman Central. Seperti tampak dalam gambar, saya dan Zumi sempat berfoto bersama di miniatur masjid yang sengaja direka untuk menyambut Ramadan. Ada pohon kurma, yang tampak seperti asli, padahal terbuat dari plastik. Pelantang suara memutar instrumentalia padang Pasir dengan suara biola yang dominan, tak lama kemudian lagu bertema hari raya berkumandang. Alahai, baru hari ke-6 nyanyian lebaran telah menggema.
Sambil menunggu berbuka, sebelumnya kami telah memesan nasi penyet di warung yang bersebelahan dengan KFC, McDonald dan Johny's di lantai 1, kami menghabiskan waktu di toko buku Popular dan duduk di area ini. Biyya membeli satu buku The Little Brown Bear sebagai bahan bacaan di kampung halaman. Sebelumnya murid UUM IS juga mengoleksi satu buku dari seri yang sama untuk dibaca dalam perjalanan. Saya pun membeli buku Jonathan Taplin berjudul Move Fast and Break Things, yang disisipi keterangan how Facebook, Google and Amazon have cornered culture and what it means for all of us. Saya sengaja menggarisbawahai kata means, karena lema ini kata kunci. Ketika blog ini ditulis, karya tersebut masih bersampul plastik. Pengalaman hari ini mengingatkan saya pada status Facebook Hairus Salim, antropolog Jogjakarta, bahwa mal adalah tempat orang ramai menghadirkan hasrat berbelanja, berbudaya, dan beragama.
No comments:
Post a Comment