Jika pendidikan dianggap sebagai cara yang paling jitu untuk melatih makhluk berakal budi agar bisa menemukan jati diri, adakah identitas otentik bangsa ini telah dijelaskan dan dipraktikkan secara utuh? Betapapun secara formal ada cetak biru, namun dalam praktik keseharian pakaian dan kebudayaan tradisional, misalnya, hanya ditunjukkan pada kegiatan dan momentun tertentu. Jujur, pakaian dan kebudayaan tradisional hanya menjadi nostalgia dan klangenan, bukan ungkapan artistik utuh sehari-hari.
Selain itu, Seperti dikatakan oleh Herbert Spencer bahwa pendidikan bertujuan untuk pembentukan karakter. Jelas, pandangan filsuf ini ideal, sebab pada gilirannya pendidikan harus bisa memberikan jalan pada pelajar untuk mempunyai keterampilan teknis. Oleh karena itu, menurut Neil Postman, pegiat pendidikan harus memerhatikan dua hal penting, yaitu persoalan keahlian teknis dan sesuatu yang bersifat metafisik.
Pandangan
seperti di atas sejatinya bukan hal baru, namun perkembangan zaman yang pesat
menyebabkan pemaknaan terhadap keahlian dan konsep abstrak tentang kehidupan
berubah. Di tengah usaha untuk menjadikan pendidikan sebagai jalan pembebasan,
ternyata institusi yang mengurusnya acapkali terperangkap pada pemerolehan
keuntungan. Padahal, ketika masyarakat dibentuk melalui kebudayaan, nilai-nilai
dan hubungan neoliberalisme, hubungan antara pendidikan kritis, moralitas
publik dan tanggung-jawab sosial sebagai sebuah syarat untuk mewujudkan warga
negara yang berwawasan dan peduli akan dikorbankan karena kepentingan modal
finansial, ketamakan perusahaan, dan logika pencarian untung. Tentu saja,
ketegangan antara kepentingan pendidikan yang membebaskan dan biaya pengurusan
yang tak lagi murah, menyebabkan ongkos untuk menyelenggarakan pembelajaran dan
pengajaran semakin meningkat.
No comments:
Post a Comment