Tidak semata-mata sebagai ruang pribadi, ia juga seeloknya fungsi ekologis yang terkait dengan lingkungan lebih luas. Bagaimanapun, rumah merupakan bagian dari ekosistem dan memiliki pengaruh pada sekitarnya. Ia tidak hanya menuntut pentingnya desain rumah dengan keseimbangan ekologis. Apalagi, rumah adalah penghasil sampah yang turut menambah beban lingkungan. Jelas, ini merupakan fungsi etis sekaligus dari tempat tinggal kita.
Lebih jauh, seperti diungkapkan oleh Joanna Richardson, dalam Place and Identity: The Performance of Home (2019), rumah itu merupakan jaringan tempat, ruang dan identitas serta negosiasi konflik di antara mereka, karena ia bukan ruang pasti, tetapi terkait dengan tanah, keturunan, dan kebudayaan.
Richardson menegaskan bahwa “home is a cyclical construction
of us. We shape home and home shapes us. Home is a feeling, not a structure. We
bring home to our house. When we feel ‘at home’ we can be our true self. But
home is not always a fairytale with a fixed happy ending. There are dark
corners in our attempt to be ‘at home’, our house may not protect us – it may
indeed feel like a trap”.
Ketika kita merasa nyaman di rumah, kita menjadi diri
sendiri. Saya menggunakan kaus Swan dan celana pendek dalam beraktivitas
sehari-hari, yang tidak akan melakukannya di luar. Kita memiliki dua ruang,
tempat kita menjadi diri sendiri dan menyesuaikan dengan pandangan orang lain
dalam membawa diri. Tetapi, meskipun kita mempunyai kebebasan, kita harus
berbagi dengan anggota keluarga yang lain, termasuk tanggung jawab
masing-masing. Dua anak kami bebas menempel gambar di pintu kamarnya dan tidak
di tempat yang lain.
No comments:
Post a Comment