Betapa kebiasaan sehari-hari yang kita lakukan
terkait dengan banyak isu sejak zaman klasik. Tatkala kecambah mentah dicampur
ulekan terasi bakar, goreng ikan kering, nasi jagung, dan kuah kelor
menimbulkan selera pada waktu kecil, itu karena saya baru bermain bola di
lapangan sebelah rumah. Dalam keadaan lapar, kita bisa kalap. Jelas, secara sederhana diet ini tepat, karena menu tersebut
memenuhi kebutuhan karbohidrat, sayur, dan protein. Tetapi, kini menu seperti
ini hampir musnah dengan masuknya gaya hidup baru dalam masyarakat.
Tentu, selera terhadap menu luar tidak memaksa
pelaku usaha untuk mengimpor bahan-bahan tersebut karena akan menambah jejak
karbon. Kita tentu tidak ingin menukar pemenuhan selera dengan mengorbankan
kelestarian lingkungan. Belum lagi, konsumen membayar lebih mahal makanan yang
seharusnya bisa diganti dengan bahan lokal. Meskipun kita tahu bahwa banyak jenis
menu lain yang kita punya berasal dari negeri asing yang telah disesuaikan
dengan lidah sendiri.
Apa pun, pekerjaan rumah yang mungkin masih belum dikerjakan adalah swasembada bahan pangan, seperti kedelai. Bahan tempe yang disukai oleh banyak warga ini perlu dipikirkan untuk dibudidayakan sesuai dengan tanah kita, termasuk diganti dengan kacangan serupa. Bayangkan kelezatan dari tempe mendoan, tepung yang digunakan untuk menguliti kudapan ini juga diimpor luar. Kelezatan itu sejatinya tidak hanya berhenti di lidah, tetapi juga di pikiran kita. Makanan yang tidak dihasilkan oleh tanah sendiri adalah celaru!
No comments:
Post a Comment