Diogenes Laertius sering dikutip untuk menunjukkan bahwa
kemiskinan itu bukan bencana. Dengan hanya berumah di guci besar di tepi pasar Athena
dan tak memiliki apa-apa, ia menjalani hidup dengan bahagia. Tetapi, keadaan
ini memang dipilih secara sadar. Filsuf yang dianggap suka nyinyir itu tinggal sendirian. Gaya hidupnya mungkin bisa diterima
karena ia tidak menanggung nafkah keluarga. Lagi pula, ia bergantung pada belas
kasihan orang lain untuk bisa makan. Apakah cara ini bisa menjadi pilihan
khalayak? Jelas, tidak.
Kemiskinan di atas bukan lahir dari ketidakberdayaan, tetapi
pandangan dunia. Namun, hidup dalam keseharian tetap mengandaikan relasi produksi
dan konsumsi, di mana ada kelas pemodal dan pekerja yang menyuburkannya. Pasar
tak jauh dari rumah Diogenes bisa berfungsi apabila ada orang yang bekerja,
mengawasi, mengatur dan mengembangkan tempat berdagang menjadi ruang produktif
bagi semua pihak, bukan segilintir. Tidak dapat dielakkan, sistem ekonomi apa
pun, ada dua pandangan yang perlu ditimbang, Sloterdijk dengan gagasan distribusi
kekayaan pada orang yang memerlukan dan Piketty dengan peningkatan besaran
pajak untuk orang kaya.
Kenyataannya,
hingga kini kita harus menghadapi banyak orang yang terpaksa hidup dalam
kekurangan. Keadaan ini tentu tidak diselesaikan dengan mendengar lagu Rhoma
Irama “Kaya Hati”. Lagu yang dibawakan bersama dengan Rita Sugiarto tersebut menggambarkan
bahwa kemiskinan itu tidak menjadi soal, apabila manusia kaya hati. Sebagai
karya estetik, ia mungkin enak didengar, tetapi sulit untuk dijalani. Selagi
kehendak untuk menjalani keseharian, setiap individu atau keluarga harus
memenuhi kebutuhan dasar dan lanjutan.