Thursday, November 02, 2023

Kearifan



Saya mengetahui karya Harry R. Lewis berjudul Excellence Without Soul pertama kali dari sahabat Prof Zainal Sanusi, dosen UIA Malaysia. Baru kali ini, saya membaca buku tersebut di banyak tempat dan suasana. Dari judul yang provokatif, mantan dekan Harvard College  ini hendak mengungkapkan bahwa universitas tertua itu memiliki keunggulan, tetapi telah kehilangan jiwa sebagai institusi pendidikan tinggi.

Dengan pertanyaan Does Liberal Education Have a Future? Lewis hendak menyoal bahwa kini banyak perguruan tinggi telah menjadi pabrik yang hanya hendak mengisi pasar dan kerja. Sementara pendidikan liberal di sini dimaksudkan sebagai institusi yang hendak membentuk pemahaman yang luas tentang bidang pengetahuan, keterampilan berpikir kritis dan kemampuan untuk menganalisis, mengevaluasi dan berpikir mandiri.

Untuk itu, pemahaman terhadap seni, ilmu pengetahuan, sejarah, filsafat dan humaniora serta kemampuan untuk menghubungkan berbagai konsep dan ide juga perlu hadir. Tak dapat dielakkan, banyak universitas melupakan peran pendidikan lebih luas untuk mahasiswa. Lembaga ini mengabaikan pekerjaan mendasar bagi pendidikan strata satu, yaitu untuk mengubah usia 18-19 ke 21-22 untuk membantu mereka tumbuh besar, belajar tentang siapa mereka, untuk mencari untuk tujuan yang lebih luas untuk hidup dan meninggalkan kampus sebagai manusia yang lebih baik.

Kerisauan Lewis di atas berdasarkan pengalamannya sebagai guru besar selama lebih daripada 30 tahun di salah satu perguruan tinggi tertua di negeri Paman Sam. Dalam buku itu, ia hendak menjelaskan bagaimana Harvard dan banyak universitas besar lain  kehilangan pandangan tentang tujuan penting dari pendidikan sarjana. Pendidikan bukanlah pengajaran tanggal dan formula dan hukum dan nama dan tempat. Kampus, yang terbaik, adalah tempat mahasiswa mulai memahami diri mereka sendiri dan menemukan cita-cita dan tujuan untuk hidup mereka. 

Lalu, adakah pengalaman Amerika juga berlaku di sini? Tentu, perbandingan di antara dua negara tidak sepadan dari banyak variabel. Namun, pengalaman Amerika Serikat bisa menjadi cermin bahwa kita sebenarnya memiliki tujuan mulia tentang pengajaran dan pembelajaran di jenjang sarjana. Sejalan dengan nama universitas, betapa pun setiap mahasiswa memilih jurusan masing-masing, ia belajar melihat ilmu dan realitas secara utuh dengan menimbang banyak sudut pandang.

Namun demikian, kita tidak bisa mengingkari bahwa keterkaitan pilihan studi dan dunia kerja perlu dipertimbangkan. Spesialisasi ini tidak mengingkari kekhususan dari ilmu pengetahuan dan keperluaan masyarakat. Namun demikian, kecakapan lunak (softskill) sebagai bagian dari ikhtiar agar lulusan bisa hidup di masyarakat tentu menjadi desain pendidikan yang lebih luas, baik disisipkan secara tersurat maupun tersirat melalui kurikulum maupun kegiatan ekstrakurikuler.

Untuk itu, kearifan adalah kata kunci yang harus disisipkan dalam banyak mata kuliah dan percakapan di kampus. Kata yang sinonim, seperti wisdom (Inggris) dan hikmah (bahasa Arab) dan kebijaksanaan (bahasa Indonesia) sejatinya adalah gagasan besar dalam banyak pelbagai tradisi filsafat. Salah satunya adalah ia terkait dengan pengetahuan praktis. Dengan melampuai semata-mata pengetahuan teoretis, seseorang menerapkan pengetahuan pada situasi kehidupan nyata.

Dari sini, filsafat menjadi pandangan dunia dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Untuk itu, apa yang dikatakan oleh Henri Lefebvre dalam Critique of Everyday Life layak disimak. Metode Marx dan Engels  justru terdiri dari pencarian hubungan yang ada antara apa yang dipikirkan, diinginkan, dikatakan dan dipercaya manusia untuk diri mereka sendiri dan siapa dirinya, apa yang mereka lakukan (hlm. 165). Sebagai salah satu cara berpikir, kaidah keduanya tentu berpijak pada sejarah dan pengalaman yang berbeda.

Dengan demikian, agar institusi pendidikan relevan dengan keseharian warganya, ia memberikan jalan pada sivitas akademika untuk arif tentang hasrat, pikiran, perkataan, dan perbuatan yang telah dibingkai dengan pandangan teologis dan ideologis tertentu. Keduanya jelas memiliki batas-batasnya dengan ruang kosong yang perlu diisi ulang dengan hujah akal budi. Melalui kearifan, siapa pun bisa mengenali diri dan lingkungan fisiknya. Bila tidak, seluruh prilaku manusia yang hidup di lingkungannya adalah salinan (photocopy) dari iklan, citraan, dan sangkaan.

Sumber: Kearifan Kabar Madura, 2 November 2023

 

No comments:

Majemuk

Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...