Kita menyerap banyak kosa kata Arab ke dalam bahasa
kebangsaan, seperti adil, makmur,
musyawarah, khidmat, dan wakil. Semua lema ini kita temukan dalam dasar negara
kita, Pancasila. Secara linguistik, arti kata-kata ini tidak hanya ditemukan
dalam kamus yang memuat arti dasar, tetapi juga relasional dengan kata lain yang
membayangkan medan semantik. Lebih jauh, pesan umum dari kata ini mengandaikan
pandangan dunia (weltanschauung) dari
negara asal.
Tetapi, tulisan ini tidak akan mengulas kerumitan di
atas, namun hendak menyoal beberapa serapan yang bisa menimbulkan masalah
terkait konsistensi, ketepatan, dan ketaksaan. Aturan dalam penyerapan telah
diatur, namun kita bisa menemukan ketidakajekan dalam penggunaaan huruf,
seperti huruf qaf (ق)
yang kadang diganti dengan /q/ dan /k/, seperti
Alquran dan takwa. Secara fonologis, kata terakhir semestinya ditulis dengan
taqwa. Tak dapat dielakkan, banyak santri menulis istiqomah, alih-alih istikamah.
Selain itu, ada kata kalbu,
yang tidak memiliki arti sebagaimana dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, yakni pangkal perasaan batin, hati yang murni, dan
hati. Semestinya ia ditulis dengan qalbu karena diawali dengan huruf qaf, bukan kaf (ﻙ), sebab kata
kalbun bermakna anjing dalam bahasa rumpun
Semitik tersebut. Itulah mengapa Aa Gymnastiar lebih memilih manajemen qalbu,
bukan kalbu.
Tentu, serapan beberapa kata yang berasal dari kata sama,
shalla, seperti salat, musala, dan
selawat jelas semakin menunjukkan ketidakkonsistenan. Semestinya kata yang terakhir
ditulis salawat. Namun demikian, kebanyakan dari pengguna kata ini akan menulis
sholat, musholla dan sholawat
karena pengucapannya lebih dekat dengan pelafalan asal. Sejauh ini, saya belum
pernah mendengar mahasiswa menyebut musala untuk musholla.
Menariknya, kita menggunakan konsonan rangkap, seperti /kh/
dan /sy/ untuk menyerap kata khalifah dan syukur. Tetapi, mengapa sh untuk
shalat dan shabar tidak juga digunakan? Anehnya, dalam khalifah dan khotbah
yang berasal dari huruf kha’ (ﺥ)
dan tanda fathah (ــَـ) yang
sama dalam bahasa Arab menggunakan huruf vokal yang berbeda, /a/ dan /o/? Lebih
pelik lagi, orang yang menyampaikan khotbah disebut dengan khatib, yang
semestinya khotib, bukan? Kalau lidah Indonesia tidak mengenal bunyi huruf ص,
sehingga direpresentasikan dengan bunyi konsonan /s/ mengapa kita menyerap /kh/
dan /sy/?
Memang pelafalan huruf qaf dan kaf dalam bahasa
Indonesia hampir serupa, meskipun ia menempati penekanan yang berbeda. Qaf dilafalkan dari bagian belakang
lidah yang mendekati tenggorokan, lebih tepatnya dari daerah yang bersentuhan
dengan anak tekak (uvula). Bagi santri,
mereka biasanya mengucapkan huruf ini secara fasih dalam bacaan salat, tetapi
penggunaannya dalam sehari-hari seperti bunyi kaf.
Huruf kaf diucapkan dari bagian tengah lidah yang menyentuh langit-langit
mulut bagian tengah (daerah velar).
Posisi pengucapan kaf lebih ke depan
dibandingkan dengan qaf, yang disebut
huruf halqi atau tenggorokan. Oleh karena itu, hampir semua serapan Arab
yang menggunakan huruf qaf diucapkan
dengan kaf, meskipun penulisannya
dengan qaf. Belum lagi, seperti serapan kalbu di atas, ada
banyak kata yang mengalami hal serupa, seperti kiblat (قبلة), kiamat (قيامة),
kurban (قربان), dan kanun (قانون).
Selain itu, tanda vokal
bahasa Arab terdiri dari fathah (a), kasrah (i) dan dhammah (u) dan tidak mengenal bunyy /e/ (baik terbuka, tertutup,
ataupun tegak, sehingga perubahan kata ترتيب (tartib) menjadi tertib dan صدقة
(shadaqah) berubah menjadi sedekah. Hal ini semakin menegaskan tidak adanya
aturan baku dalam penulisan bahasa sasaran secara fonologis.
Sememangnya, salah satu
aturan dalam penyerapan bahasa Arab adalah penyesuaian bunyi sesuai dengan
aturan fonologis bahasa Indonesia. Huruf-huruf Arab yang tidak ada padanan
langsung dengan alfabet Indonesia seperti 'ayn
(ع) dan ghain (غ), sehingga kata bid’ah diserap sebagai bidah dan maghrib
disebut dengan magrib. Lagi-lagi, pengucapan kata ini sering tidak dilafalkan
sebagaimana tulisan, tetapi seringkali disesuaikan dengan fonologi asal.
Dari uraian di atas, dalam keseharian kita sering
menemukan pengguna bahasa tidak menulis dan mengucapkan kata serapan secara
baku. Hal ini disebabkan bunyi dari kata baku tidak sama dengan tulisan.
Betapapun kita memiliki aturan dalam penyerapan bunyi, yakni asimilasi,
disimilasi, modifikasi vokal, netralisasi, zeroisasi, metatesis, diftongisasi,
monoftongisasi dan anaptiksis, namun saya belum pernah mendengar orang menyebut
musala, untuk musolla, yang sering diucapkan dalam keseharian. Anda?
* Pengajar Semantik dan Ma’anil Qur’an Universitas Nurul Jadid Jawa Timur
Sumber: Majalah Tempo (15-21 Juli 2024)
No comments:
Post a Comment