Thursday, July 18, 2024

Serapan Arab

Kita menyerap banyak kosa kata Arab ke dalam bahasa kebangsaan, seperti  adil, makmur, musyawarah, khidmat, dan wakil. Semua lema ini kita temukan dalam dasar negara kita, Pancasila. Secara linguistik, arti kata-kata ini tidak hanya ditemukan dalam kamus yang memuat arti dasar, tetapi juga relasional dengan kata lain yang membayangkan medan semantik. Lebih jauh, pesan umum dari kata ini mengandaikan pandangan dunia (weltanschauung) dari negara asal.

Tetapi, tulisan ini tidak akan mengulas kerumitan di atas, namun hendak menyoal beberapa serapan yang bisa menimbulkan masalah terkait konsistensi, ketepatan, dan ketaksaan. Aturan dalam penyerapan telah diatur, namun kita bisa menemukan ketidakajekan dalam penggunaaan huruf, seperti huruf qaf (ق) yang kadang diganti dengan /q/ dan /k/, seperti Alquran dan takwa. Secara fonologis, kata terakhir semestinya ditulis dengan taqwa. Tak dapat dielakkan, banyak santri menulis istiqomah, alih-alih istikamah.

Selain itu, ada kata kalbu, yang tidak memiliki arti sebagaimana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yakni pangkal perasaan batin, hati yang murni, dan hati. Semestinya ia ditulis dengan qalbu karena diawali dengan huruf qaf, bukan kaf (ﻙ), sebab kata kalbun bermakna anjing dalam bahasa rumpun Semitik tersebut. Itulah mengapa Aa Gymnastiar lebih memilih manajemen qalbu, bukan kalbu.

Tentu, serapan beberapa kata yang berasal dari kata sama, shalla, seperti salat, musala, dan selawat jelas semakin menunjukkan ketidakkonsistenan. Semestinya kata yang terakhir ditulis salawat. Namun demikian, kebanyakan dari pengguna kata ini akan menulis sholat, musholla dan sholawat karena pengucapannya lebih dekat dengan pelafalan asal. Sejauh ini, saya belum pernah mendengar mahasiswa menyebut musala untuk musholla.

Menariknya, kita menggunakan konsonan rangkap, seperti /kh/ dan /sy/ untuk menyerap kata khalifah dan syukur. Tetapi, mengapa sh untuk shalat dan shabar tidak juga digunakan? Anehnya, dalam khalifah dan khotbah yang berasal dari huruf kha’ (ﺥ) dan tanda fathah (ــَـ) yang sama dalam bahasa Arab menggunakan huruf vokal yang berbeda, /a/ dan /o/? Lebih pelik lagi, orang yang menyampaikan khotbah disebut dengan khatib, yang semestinya khotib, bukan? Kalau lidah Indonesia tidak mengenal bunyi huruf ص, sehingga direpresentasikan dengan bunyi konsonan /s/ mengapa kita menyerap /kh/ dan /sy/?

Memang pelafalan huruf qaf dan kaf dalam bahasa Indonesia hampir serupa, meskipun ia menempati penekanan yang berbeda. Qaf dilafalkan dari bagian belakang lidah yang mendekati tenggorokan, lebih tepatnya dari daerah yang bersentuhan dengan anak tekak (uvula). Bagi santri, mereka biasanya mengucapkan huruf ini secara fasih dalam bacaan salat, tetapi penggunaannya dalam sehari-hari seperti bunyi kaf.

Huruf kaf diucapkan dari bagian tengah lidah yang menyentuh langit-langit mulut bagian tengah (daerah velar). Posisi pengucapan kaf lebih ke depan dibandingkan dengan qaf, yang disebut huruf  halqi atau tenggorokan. Oleh karena itu, hampir semua serapan Arab yang menggunakan huruf qaf diucapkan dengan kaf, meskipun penulisannya dengan qaf. Belum  lagi, seperti serapan kalbu di atas, ada banyak kata yang mengalami hal serupa, seperti kiblat (قبلة), kiamat (قيامة), kurban (قربان), dan kanun (قانون).

Selain itu, tanda vokal bahasa Arab terdiri dari fathah (a), kasrah (i) dan dhammah (u) dan tidak mengenal bunyy /e/ (baik terbuka, tertutup, ataupun tegak, sehingga perubahan kata ترتيب (tartib) menjadi tertib dan صدقة (shadaqah) berubah menjadi sedekah. Hal ini semakin menegaskan tidak adanya aturan baku dalam penulisan bahasa sasaran secara fonologis.

Sememangnya, salah satu aturan dalam penyerapan bahasa Arab adalah penyesuaian bunyi sesuai dengan aturan fonologis bahasa Indonesia. Huruf-huruf Arab yang tidak ada padanan langsung dengan alfabet Indonesia seperti 'ayn (ع) dan ghain (غ), sehingga kata bid’ah diserap sebagai bidah dan maghrib disebut dengan magrib. Lagi-lagi, pengucapan kata ini sering tidak dilafalkan sebagaimana tulisan, tetapi seringkali disesuaikan dengan fonologi asal.

Dari uraian di atas, dalam keseharian kita sering menemukan pengguna bahasa tidak menulis dan mengucapkan kata serapan secara baku. Hal ini disebabkan bunyi dari kata baku tidak sama dengan tulisan. Betapapun kita memiliki aturan dalam penyerapan bunyi, yakni asimilasi, disimilasi, modifikasi vokal, netralisasi, zeroisasi, metatesis, diftongisasi, monoftongisasi dan anaptiksis, namun saya belum pernah mendengar orang menyebut musala, untuk musolla, yang sering diucapkan dalam keseharian. Anda?

* Pengajar Semantik dan Ma’anil Qur’an Universitas Nurul Jadid Jawa Timur 

Sumber: Majalah Tempo (15-21 Juli 2024)

No comments:

Mainan

Mengapa anak perempuan bermain masak-masakan dan anak lelaki mobil-mobilan? Kata tanya mendorong mereka untuk berpikir. Pada gilirannya kita...