Monday, August 04, 2025

Dakwah Melalui Gitar

Dalam akun Twitternya, Hamid Basyaib, pegiat Islam Liberal, berkicau bahwa SPERMA itu singkatan dari Serikat Pendukung Rhoma Irama. Lalu, Poltak Hotradeo mengicaukan ulang. Tak ayal, saya membacanya dengan bergetar. Senaif itukah kaum intelektual kita sehingga mencerca orang tidak disenangi dengan kata-kata tak pantas? Boleh jadi, Hamid bukan penggemar Bang Haji. Atau, ia gerah dengan gerakan politik pelantun Hak Asasi itu yang dianggap tidak ramah pada kemajemukan, seperti sikap bang Haji terhadap Jokowi dan Ahok. Memang, banyak orang sejenis yang sinis pada bekas suami Angel Lelga ini. Malah, olok-olok berhamburan di media sosial (sila simak hlm. 223).

Karya ini tentu bukan alat untuk membela Bang Haji dari semua itu. Ia hadir karena penulisnya menggemari ketua PAMMI (Persatuan Artis Musik Melayu Dangdut Indonesia) sejak kecil. Meskipun demikian, seperti ditulis oleh Zawawi Imrom, penyair Clurit Emas, bahwa kedekatan emosional penulis tidak melarutkan pandangan kritisnya sehingga karyanya menarik untuk dinikmati. Malah, Andrew N Weintraub, profesor musik Amerika, lebih jauh melihat buku ini sebagi penegasan betapa penting peran Rhoma Irama dalam mengembangkan musik Melayu yang mempengaruhi musik populer dan lebih jauh liriknya mengandung kritik sosial dan politik. Malah, Bens Leo, pengamat musik, menyatakan pelantun Begadang itu disebut sebagai pembuat revolusi dan modernitas dangdut.

Dalam kata sambutannya, Rhoma menegaskan bahwa buku ini penting karena ia merekam sumber-sumber dari luar. Rujukannya luas, dari karya ilmiah, majalah, koran dan media daring. Sebenarnya pengantar penulis itu sendiri atas karyanya telah mencerminkan secara utuh sehingga pembaca bisa berhenti untuk membaca bab-bab selanjutnya. Namun, untuk lebih jauh meneroka kisah grup musik terawet di dunia ini, tentu siapa pun perlu menyimaknya secara tuntas. Belum lagi, Fachri Ali, intelektual kawakan, memberi bingkai karya ini dengan menyebut dangdut sebagai budaya-perlawanan (counter-culture), di mana ketua Fahmi Tamami (Forum Silaturahmi Takmir Masjid dan Mushalla) tersebut berada di garda terdepan.

Ketika orang kota lebih menikmati lagu-lagu pop Barat, yang mengandaikan selera tinggi, mereka menemukan identitasnya sebagai kelas menengah dengan menempelkan sebanyak mungkin gaya pujaannya. Sementara kaum migran kampung yang mengalami mobilitas sosial lebih memilih lagu-lagu dangdut dan Melayu karena nada dan liriknya sejalan dengan imajinasi mereka tentang kehidupan, termasuk napas keagamaan yang kental. Dalam titik-tertentu, menurut Fachri Ali, Rhoma Irama kadang bertindak sebagai ideolog, terbukti dalam lagu “Musik”, ia meminta musuhnya-musuhnya tak menggangunya. Jelas, dua lirik terakhir menggambarkan kepercayaan dirinya: Biarlah kami mendendangkan lagu │Lagu kami Lagu Melayu.

Betapa luas karya ini terbukti dari bab-bab yang ingin menuntaskan A-Z Rhoma Irama dan Soneta. Dengan memulai pembacaan terhadap riwayat hidup, lalu perubahan paradigma musik orkes Melayu ke Dangdut, revolusi Dangdut, genre musik sebagai media dakwah, kritik dan pesan sosial, pesona Rhoma di panggung dunia tentu akan mengajak pembaca untuk mengenal lebih dekat dengan ayah Ridho Rhoma. Tentu bab 6 dan 7 mesti ditelaah karena bagian ini mengurai sepak terjang Raja Dangdut dalam kehidupan pribadi, keluarga dan tentu saja keterlibatannya dalam politik.

Sebagai karya yang serius, kita juga cukup terhibur dengan banyak foto yang membantu pembaca untuk memahami sosok suami Ricca Rachim ini secara visual. Lihat halaman 18, kulit sampul album Begadang menampilkan Rhoma yang bertelanjang dada dengan gitar bertuliskan Soneta. Meskipun ia tidak lagi berambut panjang dan berkalungkan tasbih, namun jelas Oma belum berhijrah sepenuhnya. Lebih awal lagi, ketika masih membawakan orkes Melayu, calon presiden dari Partai Kebangkitan Bangsa ini berpakaian model cutbrai. Selanjutnya, sebagai wujud musik dakwah, anak seorang tentara tersebut tak lagi menggunakan pakaian yang asal-asalan. Kulit sampul buku adalah wajah baru lelaki asal Tasikmalaya ini, berjubah dan melilitkan serban dalam setiap pementasan.

Justeru, tantangan terbesar bagi pembaca adalah memerikan makna pada syair lagu. Meskipun setiap nyanyian mengandaikan konteks tertentu, namun sebagai teks yang bisa berdiri sendiri, nyanyian ini mengandaikan nilai-nilai universal. Seperti diungkap oleh Andrew bahwa lagu-lagu yang digubah oleh pemeran utama film Menggapai Matahari ini memiliki makna yang mendalam terhadap perilaku manusia, yang sulit ditemukan di artis lain di dunia (hlm. 87). Tak ayal, banyak sarjana luar yang mengupas dan meneliti buah pena peraih SCTV Award 2011 ini, seperti Simon Broughton dan Mark Ellingham (2000), Charles Capwell (2004), Peter Manuel (1988), Anderson R Sutton (2002), Philip Sweeney (1991) dan Timothy Taylor (1997).

Keasyikan membaca buku ini bukan sekadar pemenuhan gelegak penggemarnya tentang pesona pujaannya, tetapi lirik-lirik itu tidak hadir dalam ruang yang kosong. Tentu sebagai musisi Rhoma Irama mendendangkan banyak agu cinta seperti umumnya penghibur, tetapi isu-isu sosial, seperti jurang budaya dan ekonomi diwujudkan dalam lagu Begadang, Yatim Piatu, Gelandangan dan Indonesia, demikian juga isu politik dituangkan dalam Hak Asasi, Judi, 135 Juta dan tentu isu keagamaan disuarakan menyatakan Soneta sebagai “The Voice of Muslim”. Siapa yang tidak merasa tergetar dengan nomor Kiamat dan  Sebujur Bangkai?

Hanya saja, peletakan gambar terakhir dari buku ini, yaitu foto Rhoma Irama dan Muhaimin Iskandar, secara tersirat menunjukkan bahwa karya tersebut hendak memberi jalan pada ayah Adam Ghifary untuk berpolitik, sebuah aktivitas yang bukan baru. Hanya saja, adakah perjuangan politiknya semulus musik dan dakwahnya? Ya atau tidak, pastinya buku ini telah membumikan ide-ide besar pengetahuan dan keagamaan dalam bahasa orang kebanyakan. 
 

No comments:

Radio, Kopi, dan Ibn Khaldun

Ronald Reagen pernah mengutip Ibn Khaldun tentang pajak. Betapa ide penulis Muqaddimah mengalir hingga jauh. Menariknya, mantan presiden Ame...