Saturday, August 30, 2025

Kedamaian


 Pada malam Ahad, 26 November 2022, saya naik motor ke Randujalak Besuk Probolinggo untuk mengikuti khataman Alqur’an (Khatmil Qur’an). Kegiatan bulanan Ikatan Alumni Annuqayah se-Probolinggo Raya ini digelar secara bergilir. Saya pun berangkat seusai maghrib agar tidak terlambat di rumah Haji Khamsun. Seusai bertanya beberapa kali, saya sampai ke toko alumnus santri asal Pakamban tersebut.

Sambil menunggu anggota yang lain, satu persatu yang hadir saling berkisah tentang pengalaman belajar di pondok. Betapa menyenangkan! Lalu, tuan rumah memimpin bacaan Alqur’an. Saya mendaras juz 19. Perasaan damai mengalir tatkala riuh rendah beradu dengan gerimis hujan. Seraya menantikan bacaan rekan selesai, saya sekali-kali terlelap sekejap. Ketentraman muncul karena kita merasa nyaman dan tidak merasa asing, meskipun ada banyak anggota yang belum kenal. Rasa puas mengalir dan pulang dengan damai meskipun hujan turun dan jalanan gelap.

Kejutannya adalah tatkala Masyhudi menunjukkan pada rekan yang baru datang, Hefny. Masih kenal, tanya Obex, nama panggilan, pada saya? Dengan serta saya menukas Guns N Roses. Setelah 30 tahun berlalu, saya masih mengingat sosok yang mengenalkan saya pada album Illusion. Bila Don’t Cry diperdengarkan, saya membayangkan  kenangan ketika berjemaah di masjid, bersekolah pagi, mengaji kitab, dan tidur lelap 15 menit seusai sekolah siang. Lagu itu adalah soundtrack dari keremajaan kami di bawah bukit Lancaran. Pada waktu itu, saya belum menonton video klipnya. Ini juga mendatangkan kedamaian.

Kapan sejatinya kedamaian itu hadir? Kata damai seringkali dikaitkan dengan perang. Tatkala orang bertengkar atau bertikai, mereka kemudian mengakhiri dengan perdamaian. Sebagaimana arti dasar dari kata terakhir, ia menunjukkan (1) tidak ada perang, tidak ada kerusuhan, aman (2) tenteram, tenang dan (3) keadaan tidak bermusuhan. Pendek kata, selagi tidak berantem dengan orang lain dan diri sendiri, kita bisa meraih ketentraman dan ketenangan.

Masalahnya, seperti didendangkan oleh Nasida Ria dalam Perdamaian (1981), mengapa orang ingin damai, tetapi perang semakin ramai. Kini, nyanyian tersebut semacam nubuat, bahwa di zaman pascamodern, perseteruan antara Rusia dan Ukraina telah menyebabkan kehilangan nyawa orang yang tidak berdosa, kerusakan harta benda dan lingkungan serta perpindahan warga ke negara tetangga. Dalam keadaan seperti ini, siapa pun yang ada di dalamnya akan mengalami kecemasan dan kerisauan.

Untuk itu, perdamaian yang dirindukan oleh mereka yang terjebak oleh perang hanya bisa dipenuhi dengan gencatan senjata dan kembali ke rumah masing-masing dengan tenang. Memang, keadaan normal bisa diciptakan oleh orang yang berada dalam situasi kekacauan, seperti ditunjukkan oleh Victor Frankl sebagai korban penyekapan dari NAZI. Tetapi, orang sesehat penulis Man's Search for Meaning sulit ditemukan, dan bisa dihitung dengan jari.

Demikian pula, dalam Life is Beautiful (1997), seorang Yahudi jenaka dan riang bernama Guido menikahi seorang gadis Italia yang cantik. Keduanya memiliki seorang anak dan hidup bahagia hingga saat pasukan Jerman menduduki Italia dan menangkap orang Yahudi. Dalam kamp konsentrasi Yahudi, ia bersandiwara di depan anaknya bahwa semua ini hanyalah sebuah permainan perang-perangan yang berhadiah sebuah tank. Sandiwara sang ayah ini membuat si anak tidak merasa ketakutan selama berada di dalam kamp penjara.

Tentu, tidak semua orang bisa melakukan hal di atas. Sebagian orang yang berada dalam tahanan akan merasa tertekan sebab kebebasannya dibatasi. Betapapun diberikan ruang, mereka tetap dibelenggu oleh banyak aturan. Belum lagi, kamp NAZI itu merupakan neraka, yang tidak setiap individu bisa berpikir seperti Victor Frankel dan tokoh fiksi, Guido. Apapun, perang akan mengguncang batin kombatan dan warga biasa. Kitapun tahu bahwa banyak tentara Amerika yang mengalami PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder), yang berakhir dengan bunuh diri setelah pulang dari medan perang.

Lalu, apa kita menemukan damai dalam ketiadaan peperangan? Tidak serta merta. Dalam kondisi normal, manusia menciptakan perang dalam bentuk lain untuk memburu kesenangan dan kemenangan. Sepak bola yang diciptakan untuk mendatangkan keseronokan justru bisa berbuah tawuran. Pemilihan kepala desa atau pemilu yang digelar untuk memilih pemimpin justru menjadi arena persaingan dan tidak jarang berujung adu jotos.

Itu artinya bahwa setiap hari orang-orang akan dihadapkan rasa tidak nyaman sebab khalayak gagal memahami apa hakikat dari tindakan. Selagi rasa tenteram diburu dengan uang, ia akan semakin jauh dengan rasa nyaman, pangkal dari kedamaian. Padahal, kedamaian itu sesederhana orang menikmati apa yang disukai dan mampu untuk meraihnya. Kenikmatan ini lagi-lagi terkait dengan cita rasa estetik dan filosofis, yang bisa digapai sesuai dengan keadaan otentik masing-masing. Manusia itu disebut human being (mengada untuk menikmati), bukan human having (bahagia dengan memiliki).

Betapa lagu Hitam Rita Sugiarto ciptaan Rhoma Irama yang diputar oleh warga mendatangkan kesukaan karena ia adalah soundtrack dari pengalaman bermain di masa kecil. Ketika sawah, sungai, dan pohon menjadi tempat bermain tanpa harus merogoh uang, siapa pun telah belajar merasa cukup dengan alam untuk menemukan kedamaian. Kini, saya hanya perlu berjalan ke belakang kampung untuk melihat gunung Lamong seraya merasakan angin yang segar dan matahari pagi yang hangat. Bila ini cukup, hidup telah selesai. Sumber: Kabar Madura, 30November 2022

No comments:

Jejak Karya

Baru kemarin, saya menemukan tulisan pertama saya di Jawa Pos. Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin telah mengkliping tulisan tersebut.  Bahan...