§ Oleh Ahmad Sahidah
TULISAN Sdr Achmad Maulani bertajuk "Menanti Perlindungan Hukum TKI" (SM 12/4/07) memberi empati kepada nasib TKI Indonesia di Luar Negeri. Kritik terhadap ketidakbecusan pemerintah sebenarnya telah banyak diulas, namun pengungkapan kembali persoalan ini memang harus diulang-ulang agar pembuat kebijakan dan pelaksaan lapangan tergerak untuk segera berbuat yang semestinya dikerjakan.
Jumlah mereka yang dianiaya kecil, tapi tidak ada pembenaran untuk membiarkan yang tertindas diabaikan. Ke-alpaan untuk melindungi sebuah profesi yang rentan terhadap perlakuan tidak manusiawi akan melahirkan tindak kekejaman lain yang tersembunyi
Ada banyak istilah menyebut profesi ini, di antaranya jongos, pesuruh, babu, khadam, dan sahaya. Secara semantik kata ini menunjukkan pada seseorang yang melakukan pekerjaan yang dinginkan oleh majikannya.
Tidak susah menemukan keberadaan mereka. Keseharian, mereka menjadi bagian kehidupan pada umumnya, atau sedang mengasuh anak majikan yang sedang belanja di Mall, ngobrol dengan sejawatnya dipintu rumah.
Indonesia Kurang Diperhatikan
Christine B N Chin (1988) di dalam In Service and Servitude mengkaji tentang pekerja rumah tangga dari Indonesia dan Filipina di Malaysia. Dalam kesimpulannya, berbeda dengan sejawatnya, para pembantu dari Indonesia tidak mendapat perhatian yang selayaknya, sedangkan pekerja dari negeri Pagoda didukung oleh pemerintah, NGO dan masyarakatnya sendiri.
Di antara pelanggaran yang dilakukan majikan terhadap hak mereka ialah jam kerja yang lama, tidak ada waktu istirahat, kurungan ilegal, gaji tidak dibayar atau dikurangi, pelecehan fisik dan psikologis, serangan seksual, tidak ada tempat tidur yang layak dan akomodasi yang memadai, tidak diberi makan atau tidak cukup, tidak bisa mempraktikkan agama atau mengganggu praktik agama mereka.
Laporan Human Rights Watch (HRW - 2004), organisasi hak asasi manusia yang berpusat di AS, merangkum lengkap persoalan itu. Ketidakberesan dalam proses pengambilan, pelatihan di tempat penampungan, proses dokumentasi adalah awal dari pelanggaran selanjutnya terhadap hak-hak pekerja.
Berbeda dengan pekerja migran lain, untuk menjadi pembantu rumah tangga (PRT), mereka tidak membayar satu sen pun, kecuali melalui agen tenaga kerja tidak resmi. Kemudahan ini dianggap oleh sebagian pengerah tenaga kerja sebagai pembenaran untuk memeras mereka dengan memotong gaji empat bulan pertama dan melepaskan tanggung jawab ketika mereka ditimpa masalah.
Angin Perubahan
Dengan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Indonesia dengan Malaysia tentang tenaga informal (PRT)Juni 2006 seyogianya akan berdampak positif. Ironisnya, di Indonesia sendiri, tidak ada aturan untuk melindungi para PRT. Mengingat centang-perenang pengurusan masalah ini, ada baiknya seluruh unsur dalam masyarakat di Indonesia dan Malaysia memberi perhatian terhadap upaya memartabatkan pembantu di negeri Jiran ini.
Rekomendasi HRW terhadap kedua negara bisa dijadikan acuan. Sayangnya, kementerian tenaga kerja dan imigrasi serta kementerian dalam negeri Malaysia menganggap pekerja NGO musuh yang menggerogoti wewenangnya.
Kedua negara ini perlu segera mewujudkan saran HRW untuk membuat UU dalam upaya melindungi para pekerja migran, termasuk pembantu. Selain itu, kementerian yang berwenang juga harus memonitor praktik agen tenaga kerja, menginspeksi tempat kerja dan kondisi tahanan serta menciptakan mekanisme komplain, memberikan dukungan pelayanan serta memperkuat kemampuan NGO untuk membantu mereka, menyebarkan informasi tentang hak-hak pekerja serta kewajiban agen, majikan dan pemerintah.
Mahasiswa yang tersebar di negeri jiran bisa menjadi ujung tombak mendampingi para pembantu. Upaya Persatuan Pelajar Universitas Sains Malaysia yang akan mengadakan lokakarya (2 Mei 2007) "Pekerja Bermasalah di Indonesia: Strategi Komunikasi dan Harmonisasi" patut mendapat perhatian. Kegiatan ini melibatkan institusi resmi dan NGO, baik dari Malaysia maupun Indonesia. (11)
--- Ahmad Sahidah, kandidat doktor Ilmu Humaniora di Universitas Sains Malaysia
[Sumber: Suara Merdeka, Wacana, 14/4/07]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Majemuk
Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...
No comments:
Post a Comment