BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kompleksitas masalah pekerja Indonesia di Malaysia seperti rendahnya kualitas pendidikan dan keterampilan, memerlukan upaya yang sistematis dalam menyelesaikannya, karena keadaan seperti ini menyebabkan timbulnya perlakuan negatif yang selama ini menimpa Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Dalam konteks Malaysia sebagai negara tujuan perlu diupayakan seoptimal mungkin upaya-upaya melalui forum komunikasi yang melibatkan para akademisi, politisi, penguasa eksekitif, serta pengguna dan pekerja yang bermasalah (baik resmi maupun tidak resmi) asal Indonesia yang hidup dan bekerja di Malaysia dengan tujuan menyatukan pandangan, sikap dan tindakan (harmonisasi) untuk menciptakan kenyamanan, bukan hanya dilingkungan kerja tetapi juga dalam keluarga dan masyarakat di Malaysia.
1.2 Tujuan Penulisan
- Meningkatkan rasa keperdulian terhadap permasalahan yang terjadi pada masyarakat Indonesia, khususnya pekerja Indonesia di Malaysia
- Mengumpulkan berbagai informasi dan data tentang pekerja Indonesia bermasalah di Pulau Pinang, Malaysia dan strategi harmonisasinya, termasuk faktor-faktor penyebab dan kompleksitas permasalahannya.
- Menilai kembali kebijakan-kebijakan yang telah di laksanakan oleh pemerintah Indonesia dan kerajaan Malaysia dalam menagani masalah pekerja Indonesia sebagai bagian dari usaha untuk meningkatkan koordinasi pihak terkait melalui forum perbincangan dalam bentuk Focus Group Discussion.
- Mengembangkan kerjasama berbagai pihak baik dalam dan luar negeri dalam upaya mensejahterakan rakyat, khususnya Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia.
1.3 Metode Penulisan
Dalam rumusan, kami mencoba untuk menggunakan metodologi analisis isi (content analysis) yang Kaedah analisis isi berusaha untuk memahami sejumlah informasi tekstual dan secara sistematik mengidentifikasi unsur-unsurnya, misalnnya kekerapan kata kunci yang sering digunakan dengan menemukan struktur yang lebih penting dari kandungan komunikasinya.
1.4 Sistematika Penulisan
Rumusan ini terdiri dari tiga bab dengan perincian sebagai berikut:
- Bab pertama menjelaskan latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan
- Bab kedua menguraikan permasalah pekerja yang meliputi pendahuluan, Kondisi Pekerja Pembantu Rumah Tangga dan Permasalahan Pekerja Indonesia di Malaysia
- Bab ketiga membahas saran dan rekomendasi yang mengungkapkan kesimpulan, saran dan rekomendasi serta penutup.
BAB II
PERMASALAHAN PEKERJA
2.1 Pendahuluan
Perkembangan ekonomi Malaysia akhir-akhir ini, menunjukkan perkembangan yang progresif. Dengan demikian memerlukan banyak tenaga kerja untuk mendukung pembangunan. Maka untuk memenuhi keperluan tenaga kerja, Malaysia memerlukan pekerja migran supaya pembangunan ekonomi dan sosial dapat dilestarikan untuk mengejar status negara maju menjelang tahun 2020 (Hadi 1998).
Berdasarkan laporan pihak Polis Diraja Malaysia (PDRM), pendatang migran yang tinggal di Malaysia mencapai 2.4 juta orang, termasuk pendatang illegal, keadaan ini bisa mengakibatkan timbulnya berbagai masalah dari aspek keselamatan, sosial dan ekonomi (Utusan, 22 Agustus 2006). Menurut pihak Imigrasi Malaysia, jumlah pekerja migran yang terdaftar di Malaysia sehingga bulan Mei 2006, sebanyak 1,850,063 orang, diperkirakan 70% adalah warga negara Indonesia (Utusan, 24 Agustus 2006).
Menurut Pillai (1992) sebagian pekerja Indonesia tidak mempunyai keterampilan secara khusus yang disebut sebagai pekerja tidak terampil dan setengah terampil. Khususnya dalam industri konstruksi dianggarkan mencapai 70% berasal dari Indonesia, mereka tergolong sebagai pekerja tidak mahir (unskilled labour) (Pillai 1992; Rudnick 1998).
Pekerja Indonesia yang memasuki pasaran buruh di malaysia kebanyakan pekerja yang tidak memiliki keterampilan secara khusus. Namun karena tuntutan pekerjaan sehingga pekerja Indonesia mengalami peningkatan dari segi keterampilan dalam bidang tertentu. Dengan sendirinya, mereka mempunyai keahlian yang sebenarnya akhirnya bisa dikembangkan di Indonesia.
Khususnya dalam industri konstruksi di Malaysia memerlukan tenaga kerja yang mempunyai keterampilan, karena menghasilkan hasil kerja yang bekualitas dan memuaskan. Namun terjadi fenomena yang berbeda dalam industri konstruksi di Malaysia, di mana tenaga kerja yang diserap tidak sepenuhnya pekerja yang mempunyai keterampilan yang tinggi, tetapi pekerja yang diserap adalah pekerja tidak terampil. Tentunya permasalahan yang akan timbul adalah kualitas kerja yang dihasilkan. Disamping itu juga ini akan membawa kepada implikasi yang lain, seperti besaran gaji, keselamatan kerja, hasil kerja, ketepatan waktu dan aspek lain yang berkaitan.
Keadaan ini belum dapat diatasi sepenuhnya baik oleh pihak pemerintah Malaysia maupun oleh pihak swasta, karena untuk mengurangi penggunaan pekerja migran, terutama pekerja yang tidak terampil tentunya memerlukan investasi yang lebih besar, iaitu untuk menyediakan peralatan-peralatan teknologi tinggi. Namun untuk mengurangi penggunaan tenaga kerja migran masih terlalu sukar bagi pemain industri konstruksi. Karena biaya yang harus ditanggung terlalu tinggi, tidak seimbang dengan keuntungan yang akan diperolehi.
Suatu langkah yang perlu diambil oleh pemerintah Malaysia adalah mengawasi pengambilan pekerja migran, terutama pekerja yang tidak terampil untuk kepentingan jangka panjang. Pengambilan pekerja migran dalam kuantitas yang besar menjadi penghambat kepada kestabilan negara, terutama dari segi keselamatan dalam negara, ekonomi dan pembangunan sosial. Sebagai langkah untuk mengurangkan ketergantungan kepada pekerja migran, Malaysia harus melangkah ke arah menggunakan teknologi tinggi untuk menggalakkan pertumbuhan ekonomi, tanpa harus berhadapan dengan banyak persoalan pekerja migran (Hadi 1998).
Penerimaan industri konstruksi di Malaysia terhadap pekerja migran tidak mahir telah menyebabkan banyak pekerja migran yang memasuki Malaysia, walaupun tanpa memiliki keterampilan. Pekerja Indonesia memasuki Malaysia dengan tujuan bekerja namun pada masa yang sama pekerja itu tidak mempunyai keterampilan dalam bidang apapun, sehingga tidak banyak sektor industri yang dapat menerima mereka. Antara sektor yang dapat menerima pekerja Indonesia adalah industri konstruksi dan sektor pekerja rumah tangga, karena penduduk lokal tidak banyak yang berminat memasuki bidang tersebut, karena telah banyak diserap oleh sektor produksi dan jasa.
Pekerja Indonesia dalam industri konstruksi dan pembantu rumah tangga bisa dilihat sebagai pekerja tidak mahir, maka oleh itu tidak semua mereka terdaftar dalam data negara pengirim dan negara penerima. Dengan demikian mereka tergolong pekerja dalam sektor informal. Ciri-ciri pekerja sektor informal adalah:
· Pihak-pihak yang terlibat tidak terdaftar secara resmi dalam data pihak pemerintah.
· Pihak-pihak yang terlibat bekerja dalam keadaan berbahaya dan lingkungan yang tidak sehat, seperti tidak ada fasilitas air bersih yang memadai, dan bertempat dikawasan kumuh perkotaan.
· Setiap orang bisa masuk dan keluar dari sektor ekonomi dengan mudah mengikut permintaan pasaran.
Ciri-ciri ini bisa mewakili pekerja dalam industri konstruksi, terutama sekali pekerja migran tidak mahir dan setengah mahir. Di mana dalam industri konstruksi, setiap orang masuk dan keluar dalam industri tersebut tergantung kepada permintaan. Pihak-pihak yang terlibat tidak terdaftar secara resmi dalam data pihak pemerintah. Mereka bekerja diluar jangkauan hukum sehingga tidak didukung dan diurus oleh pihak pemerintah. Pihak-pihak yang terlibat bekerja dalam keadaan berbahaya dan lingkungan kerja yang tidak sehat (Suharto 2003; Hansenne 1991).
2.2 Kondisi Pekerja Pembantu Rumah Tangga
Sebagaimana diungkapkan oleh Dato’ Zulkepley Dahalan, ketua Persatuan Agensi Pembantu Rumah Malaysia, jumlah PRT asal Indonesia berkisar 300 ribuan. Namun demikian, beliau mengatakan bahwa 70 persen dari mereka bekerja di keluarga China. Banyaknya masalah yang mereka alami telah banyak menarik perhatian pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan bahkan organiasi keagamaan.
Kesediaan kedua negara Indonesia (Wakil Presiden Jusuf Kalla) dan Malaysia (Wakil Perdana Mentri Mohammad Najib) untuk membincangkan nasib para pekerja migran perempuan adalah patut mendapat perhatian (28 Maret 2006).
Meskipun, jumlah mereka yang dianiaya kecil, tapi tidak ada pembenaran untuk membiarkan mereka yang tertindas diabaikan. Kealpaan untuk melindungi sebuah profesi yang rentan terhadap perlakuan tidak manusiawi akan melahirkan tindak kekejaman lain yang tersembunyi dan baru tersentak setelah muncul peristiwa penganiayaan berat terhadap mereka.
Sebenarnya, inisiatif untuk membicarakan nasib para pekerja domestik ini telah digagas pada bulan Mei 2004, yaitu setelah kasus penganiayaan Nirmala Bonat oleh majikannya mendapat liputan luas di media massa dan simpati dari pelbagai kalangan. Tentu saja, pertemuan kedua pemimpin ini merupakan angin segar di tengah terombang-ambingnya nasib pekerja domestik Indonesia di negeri jiran yang berjumlah 300 ribu-an.
Ada banyak istilah untuk menyebut profesi satu ini, di antaranya jongos, pesuruh, babu, khadam, dan sahaya. Secara semantik kata ini menunjukkan pada seseorang yang melakukan pekerjaan apa saja yang dinginkan oleh majikannya. Sebuah pekerjaan yang tidak mempunyai ‘cetak-biru’ di dalam dunia kerja.
Tidak susah untuk menemukan keberadaan mereka. Di dalam keseharian, boleh jadi mereka menjadi bagian kehidupan pada umumnya, atau sedang mengasuh anak majikan yang sedang belanja di Mall, ngobrol dengan sejawatnya di bibir pintu pagar rumah, dan yang unik adalah perannya yang khas di dalam sinetron televisi.
Namun nasib mereka tidak semanis di dalam reality show Ari Wibowo mencari pembantu atau opera sabun dalam serial TV The Nanny yang pernah ditayangkan di salah satu tv swasta. Kehadiran mereka nyaris tidak dihargai dengan tidak dimasukkannya di dalam undang-undang ketenagakerjaan.
Christine B N Chin (1988) di dalam In Service and Servitude melakukan kajian menyeluruh tentang pekerja rumah tangga dari Indonesia dan Filipina di Malaysia. Dalam kesimpulannya, berbeda dengan sejawatnya, para pembantu dari Indonesia yang mengais nafkah di luar negeri tidak mendapat perhatian yang selayaknya, sedangkan pekerja dari negeri Pagoda ini didukung oleh pemerintah, NGO dan masyarakatnya sendiri.
Di antara pelanggaran yang dilakukan majikan terhadap hak mereka ialah jam kerja yang lama, tidak ada waktu istirahat, kurungan ilegal, gaji tidak dibayar atau dikurangi, pelecehan fisik dan psikologis, serangan seksual, tidak ada tempat tidur yang layak dan akomodasi yang memadai, tidak diberi makan atau tidak cukup, tidak bisa mempraktikkan agama atau mengganggu praktik agama mereka.
Dalam salah satu laporannya (2004), Human Rights Watch, sebuah organisasi hak asasi manusia yang berpusat di Amerika, merangkum dengan lengkap persoalan yang membelit para pekerja ini dari sejak perekrutan hingga bekerja di negeri jiran. Ketidakberesan yang muncul di dalam proses pengambilan, pelatihan di tempat penampungan, proses dokumentasi adalah awal dari pelanggaran selanjutnya terhadap hak-hak pekerja.
Berbeda dengan pekerja migran lain, untuk menjadi pembantu rumah tangga, mereka tidak membayar satu sen pun, kecuali melalui agen tenaga kerja tidak resmi. Justeru, kemudahan ini dianggap oleh sebagian pengerah tenaga kerja sebagai pembenaran untuk memoroti mereka dengan memotong gaji empat bulan pertama dan melepaskan tanggung jawab ketika mereka ditimpa masalah.
Dengan pertemuan dua wakil pemerintah, penandatanganan nota kesepahaman (MoU) tentang tenaga informal (pembantu rumah tangga), yang akan dilakukan Juni akan berdampak positif bagi mereka yang acapkali terpinggirkan. Ironisnya, di Indonesia sendiri, tidak ada aturan untuk melindungi para pembantu rumah tangga ini.
Namun, mengingat centang-perenang pengurusan masalah ini, ada baiknya seluruh unsur dalam masyarakat baik di Indonesia dan di Malaysia memberi perhatian terhadap upaya memartabatkan pembantu di negeri Jiran ini.
Rekomendasi Human Right Watch terhadap kedua negara bisa dijadikan acuan untuk mengatasi masalah yang sudah lama tak ditangani dan upaya mereka semestinya mendapat apresiasi yang baik dari pembuat kebijakan. Sayangnya, kementrian tenaga kerja dan imigrasi serta kementrian dalam negeri Malaysia senantiasa menganggap pekerja NGO musuh yang menggerogoti wewenangnya.
Kedua negara ini segera mewujudkan saran lembaga hak asasi ini untuk membuat undang-undang dalam upaya melindungi para pekerja migran, termasuk pembantu. Selain itu, kementrian yang berwenang juga harus memonitor praktik agen tenaga kerja, menginspeksi tempat kerja dan kondisi tahanan serta menciptakan mekanisme komplain, memberikan dukungan pelayanan serta memperkuat kemampuan NGO untuk membantu mereka, menyebarkan informasi tentang hak-hak pekerja serta kewajiban agen, majikan dan pemerintah.
Namun demikian, sebagus apa pun isi MoU yang telah ditandatangani, ia akan menjadi kertas kosong jika tidak ada pengawasan publik. Ini bisa dilakukan oleh para pekerja sosial dan anggota parlemen di Indonesia serta para mahasiswa Indonesia yang tersebar di seluruh negeri negara serumpun ini. Keengganan pihak kedutaan RI untuk melibatkan para mahasiswa bisa dipahami karena selama ini hubungan keduanya renggang disebabkan sikap a priori masing-masing.
Sebenarnya mahasiswa yang tersebar di negeri jiran ini bisa menjadi ujung tombak mendampingi para pembantu ini mengetahui hak-haknya dan bekerja sama dengan NGO lokal yang mempunyai perhatian pada pendampingan terhadap pekerja perempuan, seperti Tenaganita, MTUC dan Suaram, termasuk organisasi serupa di tanah Air.
2.3 Permasalahan Pekerja Indonesia di Malaysia
Migrasi penduduk sebenarnya adalah dampak dari pembangunan global yang telah meningkatkan tahap pencapaian sosio-ekonomi beberapa negara yang sedang membangun. Pada tahun 1990-an Malaysia telah menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang baik di antara beberapa negara di Asia Tenggara yang lain, sehingga dapat menarik investasi dari dalam dan luar negeri. Pada waktu yang sama juga negara Jiran ini menghadapi kekurangan tenaga buruh, sehingga memerlukan pekerja migran yang bisa mengisi kekurangan tenaga buruh tersebut. Tenaga buruh lokal lebih banyak memasuki sektor produksi dan jasa, sehingga industri konstruksi dan keperluan penata rumah tangga mengalami kekurangan penawaran, maka pemain industri konstruksi menggunakan tenaga buruh migran.
Industri konstruksi di Malaysia telah memainkan peranan penting dalam pembangunan ekonomi negara, penyediaan fasilitas fisik dan infrastruktur yang bisa menggalakkan pembangunan sosial dan ekonomi. Industri konstruksi adalah industri utama yang harus sejalan dengan industri yang lain, karena akan menjadi penjana kepada perkembangan industri yang lain, terutama dalam pembangunan fisik untuk kepentingan masyarakat.
Salah satu penyelesaiaan kepada penggunaan tenaga manusia yang terlalu banyak adalah melalui peningkatan tahap penggunaan teknologi dalam semua sektor. Kerena dengan banyak menggunakan tenaga manusia, khususnya pekerja migran akan menimbulkan berbagai masalah sosial dan ekonomi, termasuk keamanan dalam negara. Bagi mengurangi penggunaan tenaga manusia, khususnya pekerja migran tidak mahir dan separuh mahir, pihak peneraju industri konstruksi perlu mengalihkan penggunaan tenaga manusia kepada menggunakan teknologi tinggi. Namun penggunaan teknologi tinggi dalam industri konstruksi akan memerlukan dana yang sangat tinggi, maka dalam jangka waktu singkat kehendak ini sukar untuk terpenuhi (Hadi 1998).
Walaupun demikian, sebenarnya dasar pemerintah Malaysia menetapkan untuk mengambil pekerja migran tidak mahir dan separuh mahir sahaja. Kebijakan ini bertujuan untuk memberi peluang kepada pekerja-pekerja lokal sebelum diserahkan kepada pekerja migran, karena pengambilan pekerja migran tidak bisa meningkatkan produktivitas negara. Namun dalam usaha kearah pemulihan ekonomi negara, keperluan pekerja migran tidak dapat dinafikan, justeru itu dasar semasa pengambilan pekerja migran disesuaikan dengan keperluan yang mendesak, yang sukar di ceburi oleh rakyat tempatan, seperti industri konstruksi dan perkebunan (Jabatan Imigresen Malaysia 2006).
Keperluan terhadap tenaga buruh yang besar dalan industri konstruksi di Malaysia dan pada masa yang sama, adanya pekerja migran dari negara lain yang mencari pekerjaan, seperti Indonesia maka kekurangan tenaga buruh di Malaysia dapat terpenuhi. Industri konstruksi adalah sektor ekonomi yang berkembang pesat, tetapi pada masa yang sama penduduk tempatan tidak banyak yang menceburi sektor ini maka kekosongan ini diisi oleh pekerja migran. Selain karena kekurangan pekerja, ianya juga tidak memerlukan sepenuhnya pekerja yang berketerampilan tinggi (Rudnick 1996; Rashid 2001).
Pekerja Indonesia merupakan kumpulan pekerja migran yang paling banyak bekerja dalam industri konstruksi di Malaysia. Latar belakang sosio-ekonomi mereka adalah kumpulan masyarakat berpendapatan dan berpendidikan rendah atau bekerja pada sektor informal di wilayah asal mereka di Indonesia (Nasution 2001). Sehingga apabila bekerja diluar dari wilayah mereka hanya bisa bekerja dalam sektor-sektor ekonomi yang memerlukan tenaga tanpa ada keterampilan tertentu. Industri konstruksi adalah salah satu sektor yang bisa menerima mereka tanpa ada keterampilan dan tahap pendidikan tertentu.
Pekerja Indonesia datang ke Malaysia dengan tujuan memperolehi pendapatan dalam bentuk pulangan uang, tetapi justeru mereka memperolehi keterampilan dan dalam bidang konstruksi.
Selain itu juga, kedua belah pihak mendapat keuntungan, baik pekerja Indonesia maupun pihak pihak pengembang dan pihak pemerintah Malaysia. Pihak kontraktor (swasta) dan pemerintah tidak perlu mengeluarkan alokasi dana yang besar untuk menyediakan peralatan berteknologi tinggi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara. Demikian juga dengan pekerja, berpeluang mendapatkan pekerjaan dan pendapatan. Namun ada yang lebih penting dari sekadar mendapat pendapatan, di mana pekerja memperolehi keterampilan dalam bidang konstruksi.
Pihak kontraktor (majikan) memperolehi tenaga kerja yang relatif lebih murah, akan tetapi harus menanggung kos pelatihan, walaupun pelatihan yang dimaksud bukan secara formal, tetapi pelatihan langsung yang diperolehi selama bekerja. Pihak yang kedua adalah pekerja, di mana pekerja memperoleh keterampilan, secara tidak langsung keterampilan yang didapati akan meningkatkan nilai pekerja dari segi status dan juga gaji. Sehingga pekerja yang telah bekerja di sektor industri konstruksi dalam jangka masa tertentu memperoleh keterampilan yang bisa menaikkan nilai mereka. Keterampilan yang diperolehi dari pembelajaran secara tidak langsung ini telah memberikan keuntungan kepada pekerja.
BAB III
SARAN DAN REKOMENDASI
4.1 Usulan kepada negara penghantar
1. Bagi negara penghantar, seharusnya tidak mendorong warga negaranya memasuki negara lain dengan model migrasi pertalian (chain migration), yaitu migrasi melalui sistem persaudaraan, karena akan mengganggu kestabilan negara yang dituju, seperti menimbulkan masalah sosial bagi masyarakat tempat pekerja berada. Selain itu juga membawa dampak yang tidak baik bagi pekerja itu sendiri, negara penerima tidak dapat mendata setiap pekerja yang masuk ke negaranya. Oleh karena itu, pekerja Indonesia terpaksa menjadi pekerja tidak sah dan bekerja secara informal, yang tidak memperoleh keuntungan seperti jaminan sosial, asuransi yang semestinya diperolehi.
2. Negara penghantar harus mengutamakan keterampilan kepada pekerja yang masuk ke negara lain untuk bekerja, sehingga negara penerima tidak perlu menanggung biaya dalam menjalankan latihan-latihan, walaupun latihan yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah latihan secara tidak formal.
3. Industri konstruksi di Malaysia diramalkan akan mengalami peningkatan yang signifikan dalam beberapa tahun kedepan. Maka Indonesia sebagai negara yang mempunyai kelebihan tenaga kerja mesti bisa memanfaatkan peluang ini, untuk mengurangi tingkat pengangguran. Salah satu pendekatan yang bisa digunakan adalah memberikan latihan yang baik kepada calon pekerja yang akan bekerja dalam industri konstruksi di Malaysia. Selain memberi peluang pekerjaan kepada penduduk juga memperolehi pulangan (remittances).
4.2 Usulan kepada negara penerima
Pekerja migran yang bekerja dalam industri konstruksi, semestinya, tidak sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasaran bebas (capitalis), karena dengan demikian akan mengurangkan tahap kesejahteraan pekerja. Padahal secara tidak langsung pihak kerajaan Malaysia juga mendapatkan keuntungan dari pekerja migran tersebut. Seandainya diserahkan kepada mekanisme pasar, maka pekerja sukar memperolehi tahap kesejahteraan yang baik.
4.3 Usulan kepada PPI
Tindakan rill dari lokakarya yang telah dilaksanakan adalah memberikan bimbingan kepada pekerja dalam bentuk keterampilan untuk meningkatkan bergaining power, pendidikan untuk meningkatkan pemahaman berkaitan dengan peraturan-peraturan negara tempat mereka bekerja dan kegiatan kerohanian untuk membentengi moral pekerja sehingga tetap berpegang teguh dengan nilai-nilai nilai luhur bangsa Indonesia. Dalam rangka melaksanakan ketiga hal di atas maka PPI-USM akan membuka diri untuk bekerja sama dengan lembaga-lembaga lain seperti KONJEN-RI Penang dan FORKOMMI (Forum Komunikasi Masyarakat Muslim Indonesia)—di Malaysia.
4.4 Penutup
Demikianlah, beberapa pokok pikiran yang bisa disarikan dari lokakarya yang dilaksankan oleh Persatuan Pelajar Indonesia Universitas Sains Malaysia pada tanggal 3 Mei 2007 di Hotel Vistana Pulau Pinang Malaysia.
Referensi
Christine B N Chin, In Service and Servitude Foreign Female Workers and Malaysian Modern Project (Whitehouse Station: Columbia University Press, 1988).
Hadi, Abdul Samad. (1998). Tetamu yang tidak pernah diundang: Kemelut pekerja asing tanpa izin di Malaysia. (dlm). Katiman Rostam et. al. (pnyt.). Pembangunan, perbandaran dan alam sekitar, Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia.
Hansenne, M. (1991). The dilemma of informal sector, Geneva: International Labour Office.
Pillai, P. (1992). People on the move: an overview of recent immigration and emigration in Malaysia, Kuala Lumpur: Institute of Strategic and International Studies.
Rashid, Abdul, A. A. (2001). Foreign labour in the Malaysian construction industry Available: http://www.lib.usm.my/bpp/New%20Folder/pasing.html. 1/8/06.
Rudnick, Anja. (1996). Foreign labour in Malaysian manufacturing: Bangladeshi workers in the textile industry, Kuala Lumpur: Insan.
Suharto, Edi. (2005). Accommodating the urban informal sector in the public policy process: A case study of street enterprises in Bandung Metropolitan Region (BMR), Indonesia. International Policy Fellow. Dalam Suharto Edi, Analisis Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta.
Utusan Malaysia, 22 Ogos 2006.
Utusan Malaysia, 24 Ogos 2006.
Rumusan Kesimpulan Diskusi Sesi 1 ( Moderator Dr. Wahyudi Kumorotomo)
- Penyelesaian masalah TKI di Malaysia hendaknya didasarkan pada semangat kerjasama dari semua pihak di Indonesia dan Malaysia, dengan ”win-win solution” sebagai bangsa serumpuan, satu bahasa dan budaya
- Inpres No. 6 tahun 2006 tentang perlindungan TKI perlu didukung oleh pelbagai pihak, terutama pemerintah daerah. Pastikan PJTKI liar diberantas dan pihak pekerja dan penyalur tenagakerja saling terbuka
- Informasi mengenai TKI jangan hanya mengacu kepada media sebab terkadang ia juga memiliki kepentingan. Perumusan kebijakan semestinya dirujuk pada data yang objektif, adil dan bermartabat
- Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan kembali untuk membatasi pengiriman pembantu rumah tangga (PRT) sebab kelompok ini yang paling banyak menghadapi masalah. Saat ini sektor pekerja ini berjumlah 25.47 % atau 305.808. Dari jumlah ini 30.000 lari dan menjadi TKI illegal.
- Pemerintah Indonesia-Malaysia seharusnya menindaklanjuti kebijakan bukan hanya berpegang pada MOU. Salah satu butir penting yang harus segera ditetapka adalah agar pekerja rumah tangga tetap memegang paspornya sendiri