Ditulis oleh : Ahmad Sahidah, Graduate Research Assistant dan Kandidat Doktor Ilmu Humaniora, Universitas Sains Malaysia
'Kemenangan' koalisi oposisi Barisan Alternatif yang terdiri dari tiga komponen utama, Partai Keadilan Rakyat (PKR), Democratic Action Party (DAP), dan Partai Islam se-Malaysia (PAS) sempat memunculkan isu terulangnya kerusuhan etnik 1969. Namun, permintaan Abdullah Badawi dan Anwar Ibrahim yang disiarkan di radio untuk meminta tiap pengikutnya menahan diri dan tidak merayakan kemenangan di jalanan berhasil membuat keadaan tenang. Tidak ada gejolak dan insiden yang memicu kekerasan.
Pernyataan pertama Badawi bahwa kemenangan oposisi di beberapa negeri bagian menunjukkan demokrasi telah bekerja adalah sebuah pernyataan simpatik. Ya, rakyat telah menunjukkan kearifannya untuk tidak lagi memercayai Barisan Nasional yang telah memegang kekuasaan selama 50 tahun lebih. Meskipun, sebagian besar masih memberikan suara mereka untuk BN. Sebagian pengamat politik menilai suara konstituen hanya ingin menguji apakah pihak oposisi mampu mencatat sejarah lebih manis.
Tentu, masyarakat di sana harus menunggu selama lima tahun apakah Tan Sri Khalid Ibrahim dari PKR yang menjadi menteri besar (setingkat gubernur) di Selangor, Lim Guan dari DAP di Pulau Pinang, Azizan Abdul Razak dari PAS di Kedah dan Perak yang masih dirundingkan pihak oposisi berhasil memenuhi aspirasi konstituen lebih baik atau tidak. Memang, mereka telah menyatakan janji dua hari setelah kemenangan diraih (The Sun, 10/3/08). Namun, tindakan lebih kuat pengaruhnya jika dibandingkan dengan ucapan (action speaks lauder).
Dominasi Berlebihan
Memerhatikan proses pemilihan sejak awal, tampak bahwa komisi pemilihan umum (di sana disebut Suruhanjaya Pilihanraya) telah bekerja keras untuk memungkinkan pesta demokrasi berjalan mulus. Meskipun sebelumnya sempat diwarnai kecaman karena membatalkan penggunaan tinta bagi mereka yang telah mencoblos atas dasar alasan keamanan. Demikian juga, tidak ada laporan tentang kecurangan yang sebelumnya diancam oleh oposisi dengan aksi turun jalan jika partai berkuasa berlaku curang.
Sayangnya, kesempatan partai oposisi untuk mendapatkan perlakuan yang adil untuk memanfaatkan media televisi dan cetak diabaikan. Bahkan televisi RTM 1 dan RTM 2 sebagai stasiun milik publik tak luput dari cengkeraman Barisan Nasional (BN). Belum lagi TV dan radio swasta yang sama sekali menghalangi akses oposisi untuk melakukan kampanye. Yang terakhir ini hanya berkampanye melalui ceramah umum, surat kabar yang terbatas, dan internet.
Jika kemudian rakyat memprotes ketidakadilan itu, mungkin benar apa yang diungkapkan tokoh oposisi gaek PAS, Nik Aziz Nik Mat, bahwa rakyat mulai muak dengan prilaku rakus pemerintah yang berkuasa. Mereka tidak sedikit pun mempertimbangkan perasaan rakyat. Tepat apa yang dikatakan Mukhris Mahathir, anggota DPR dari UMNO, sekarang pemerintahlah yang harus mendengar rakyatnya (The Sun, 11/3/08).
'Kekalahan' BN paling tidak telah memungkinkan televisi memberikan ruang pada suara kritis dari para pakar politik yang sebelumnya digunakan untuk melegitimasi mereka. Analisis ahli politik pascapemilu mendapatkan liputan luas sehingga secara tidak langsung membuka borok BN. Beberapa surat kabar yang sebelumnya memuji-muji pemerintah berusaha untuk menelanjangi kekeliruan yang selama ini telah dilakukan. Bahkan kritik keras Mahathir yang sebelumnya tidak pernah diliput secara luas di dua koran utama, utusan dan berita harian, sekarang diturunkan secara utuh.
Persaingan yang seimbang
Bagaimanapun, dengan kemenangan oposisi di negeri bagian yang merupakan urat nadi kepada perekonomian Malaysia merupakan pukulan telak terhadap Barisan Nasional. Diharapkan, keadaan ini akan menyadarkan pihak berkuasa untuk mengkaji ulang kebijakan yang menganggap dirinya bisa melakukan semuanya tanpa kritik.
Tekanan kuat terhadap universitas sebagai rumah kaum terpelajar harus dihilangkan. Walau bagaimanapun, sebagian faktor kekalahan UMNO-BN adalah sikap kritis kaum terpelajar ini dan tentu saja protes masyarakat atas kegagalan pemerintah menunaikan janjinya untuk perbaikan ekonomi, pemberantasan korupsi, dan keamanan.
Tentu saja, masa dua hari adalah cukup bagi BN untuk menyadari kekeliruannya. Analisis yang telah diberikan oleh para pakar lebih dari cukup untuk mengakui kelemahannya. Ini pun telah dibuktikan dengan pengakuan dari elite dan malah ini menjadi pemantik semangat untuk tetap memimpin Malaysia. Lebih jauh, BN-UMNO akan membentuk badan independen untuk meneliti secara lebih mendalam kekalahan terbesarnya dalam sejarah.
Demikian pula, oposisi harus berusaha untuk menunjukkan kemampuannya mewujudkan janji-janjinya dalam kampanye yaitu menciptakan kehidupan yang lebih berpihak kepada rakyat. Tentu, Tan Sri Khalid Ibrahim dari PKR tidak akan menemui kesulitan karena mempunyai pengalaman di dalam bidang administrasi dan manajemen kepemerintahan. Meskipun, ini juga bukan jaminan karena bagaimanapun pemerintah pusat mempunyai andil besar dalam menggelontorkan anggaran.
Perubahan komposisi politik di tingkat nasional adalah penyebab perimbangan kekuatan yang akan memberikan peluang yang sama untuk berlomba-lomba menyejahterakan rakyat. Tetapi, melihat hampir seluruh media berada di tengah pemerintah dan kroninya, tampak ada ketimpangan yang besar. Jika Barisan Nasional tidak mengontrol media dengan bijak, antipati konstituen akan bertambah besar.
Apalagi lagi, kecenderungan pemberitaan satu pihak yang tidak menyediakan ruang bagi sebuah dialog akan menutup pintu bagi partisipasi masyarakat lebih luas. Demikian pula, kampus tidak lagi dihalangi untuk memberikan akses yang sama terhadap semua kelompok. Koran oposisi harus diberikan kesempatan mengisi rak perpustakaan yang selama ini hanya diisi oleh media propemerintah.
Namun, kedua media harus memerhatikan etika jurnalisme yang lebih bertanggung jawab. Kalau diperhatikan secara cermat, kita akan tersenyum geli karena keduanya tidak menampilkan fungsi jurnalisme yang tidak berpihak. Koran tak lebih dari ajang propaganda partai masing-masing. Tidak ada analisis yang mendalam dari para pakar politik yang kompeten sehingga pembaca bisa menilai secara objektif. Demikian pula para akademisi yang mempunyai kepakaran ekonomi tidak diberikan keleluasaan untuk membahas secara kritis kebijakan pemerintah.
Dari kenyataan di atas, sekarang bola ada di tangan pemerintah. Apakah kehendak rakyat untuk menikmati demokrasi akan dipenuhi atau diabaikan? Jika seluruh media masih dijadikan panggung depan (front stage) sebagaimana dramaturginya Erving Goffman dan panggung belakang disembunyikan, itu akan menjadi petaka lebih besar. Sikap kritis masyarakat di sana sebenarnya merupakan cermin keberhasilan pemerintahan UMNO dalam bidang pendidikan dan penyediaan teknologi internet. Mereka tidak bisa dibungkam hanya dengan pencitraan yang dipaksakan dalam bahasa gambar karikatif di media.
Akhirnya, benar apa yang dikatakan Wong Chin Huat, analis politik Universitas Monash Malaysia bahwa pemilu bisa mengubah tiga hal yaitu perwakilan, pemerintah, dan kebijakan. Sekarang ketiga-tiganya hampir dibagi rata antara koalisi yang berkuasa dan oposisi. Maka, sebenarnya yang diuntungkan adalah rakyat karena sekarang menjadi rebutan keduanya untuk dilayani dengan tulus.