Friday, March 05, 2010

Kepulangan Sang Imam


Beberapa hari yang lalu, imam tetap surau kami pulang kampung. Dalam sebuah kesempatan, beliau pernah mengungkap pada tetangga kami untuk tidak akan kembali lagi. Tugasnya sebagai peneliti di kampus telah berakhir. Sebenarnya, dia mempunyai kesempatan untuk terus mengabdi, namun lebih memilih pulang. Sebagai peneliti, ia telah banyak menerbitkan karyanya di sejumlah jurnal internasional, sehingga layak untuk terus menyandang jabatan yang dipikulnya. Tapi, hidup itu pilihan. Satu hari sebelum meninggalkan Pulau Pinang, Pak Cik, tetangga kami, sempat mengundangnya makan malam, tanda perpisahan. Kami pun bercengkerama, penuh keakraban.

Pengurus surau menetapkan lelaki asal Makasar ini sebagai imam, karena pelbagai alasan. Kehilangan turut dirasakan jamaah yang lain. Biasanya ia tidak hanya memimpin shalat, bahkan seringkali alumnus Universitas di Jepang ini melantunkan azan, pertanda waktu sembahyang tiba. Suaranya mengajak penghuni flat bergegas turun. Meski tidak pernah bersekolah di Pondok Pesantren Tahfiz, peraih PhD dalam bidang matematika ini banyak menghapal surah al-Qur'an. Pernah satu waktu, saya mendengar sayup-sayup menjelang subuh, ia membaca al-Qur'an di rumahnya. Kebetulan, kami hanya berbeda satu lantai.

Kesederhanaannya jelas terpancar dari raut wajahnya. Meski gajinya besar, ia tetap melaju dengan sepeda motor ke tempat bekerja. Bahkan untuk ke Kuala Lumpur, ia bersama keluarga naik bis, bukan pesawat, yang tiketnya murah. Demikian pula cara berbusana, tak sedikitpun ia mematut diri untuk menunjukkan diri sebagai orang yang berkantong tebal. Selamat jalan kawan, semoga di sana aura itu menular pada jiran.

1 comment:

Antyo Rentjoko said...

Sungguh sebuah contoh aketisisme yang mencerahkan.

Mainan

Mengapa anak perempuan bermain masak-masakan dan anak lelaki mobil-mobilan? Kata tanya mendorong mereka untuk berpikir. Pada gilirannya kita...