Thursday, November 18, 2010

Melepas Anak Panah

Seperti orang tua yang lain, saya membiarkan si kecil untuk mencari dunianya. Gambar yang bertebaran di majalah mencuri perhatian, tak hanya sekali, berulang kali. Acapkali ia menekuri wajah orang-orang. Adakah dia sedang membandingkan watak orang tuanya dan liyan? Mungkin. Wajah tak pernah menipu kita, bukan? Oh ya, setiap kali saya berkata tegas, ia pun berucap ayah, ayah, seraya menuju pada gambar kami yang digantung di tembok, tak jauh dari meja membaca. Ya, gambar itu adalah pengalaman kami berdua menelusuri kebersamaan di Bukit Cameron, Pahang. Di situ, kami tampak sumringah. Mungkin, si kecil ingin menyampaikan kalimat, mbok ya santai, Dab!

Orang tua memang selalu direpotkan tingkah anaknya. Ketika kami merapikan kamar, dengan santai si kecil akan mengacak hingga suasana bilik itu seperti kapal pecah. Sepertinya ia meledek kami, bahwa rumah itu harus meriah, di mana pelbagai benda bertaburan. Malah, dengan tenang, tangan mungilnya menarik apa pun yang digeletakkan di meja. Apa pun yang menarik perhatian dan bisa dijangkau, semua harus digenggam, lalu dibuang. Adakah rasa nyaman hadir dalam keadaan centang-perenang? Mungkin, apabila kita mau melihat itu dari cara si kecil melihat keadaan. Apalagi, dalam sebuah penelitian, anak yang aktif cenderung cerdas.

Kami pun mencoba memahaminya, menerima tingkahnya yang mengusik rasa nyaman. Toh, tak hanya di rumah, kami pun juga dihadapkan dengan cara pandangan lain di luar. Pendek kata, rumah kami adalah tempat paling dekat untuk belajar menerima perbedaan. Tapi, saya pun tak henti-henti mengajarkan si kecil untuk belajar membersihkan rumah dan sering mengajaknya ke tempat sampah, membuang sisa-sisa masakan. Meskipun, dengan senang hati, kami bisa membuangnya melalui jendela, tanpa bersusah payah ke bawah, hanya untuk membuang sampah.

No comments:

Falsafah Ta'wil

Sepulang sekolah, saya mengajak Biyya ke JNE untuk mengirim sebuah buku pada pembeli. Peminat memberitahu saya melalui media sosial. Karya i...