Tuesday, June 13, 2017

Ramadan di Bukit Kachi [17]

Hingga hari ke-17, saya belum merasakan dadih (susu kedelai) yang dicampur dengan gula aren. Untuk ketiga kalinya saya mencarinya di setiap tenda penjual minuman. Di sela berjalan, saya sempat mengambil gambar seperti tampak di gambar sebelah, sate Jawa. Di sini, saya bertemu dengan Zul, mahasiswa UUM.

Hanya beberapa menit lagi, waktu berbuka akan tiba. Pengunjung bazar tak lagi ramai. Sebagian penjual mengemas jualan. Warung makan dipenuhi oleh orang-orang yang sedang menunggu detik-detik azan Magrib.

Seperti biasa, Zumi harus dibelikan mainan agar bisa duduk tenang. Berbeda dengan hari kemarin, si kecil tak lahap. Malah, ia meremas-remas nasi dan telur yang telah disediakan oleh pelayan warung. Beruntung, ia selalu minta untuk mencuci tangan yang berminyak. Kebiasaan akan membentuk karakter anak. Lalu, anak berusia tiga tahun ini bermain mobil-mobilan seraya memonyongkan mulut meniru bunyi mesin. Berbeda dengan kakaknya yang menikmati makannya karena lapar. Si sulung kadang tampak gusar karena mainannya jatuh karena mobilnya bisa terbang. Sabar ya? Namanya juga anak kecil, sarana kami. Selama menikmati berbuka, kami sama sekali tidak membuka telepon pintar.

No comments:

Majemuk

Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...