Friday, February 23, 2007

Melahirkan Anak yang Riang

Kalau Anda melihat buku ini, pertama yang terlintas adalah dua bocah perempuan yang tertawa lepas (keturunan China dan Afrika Amerika) dan dua orang yang tak begitu jelas, namun menunjukkan bahasa tubuh yang sama, gerakan kegembiraan. sebuah pemandangan yang acapkali kita lihat di sekitar kita. Mungkin, sekilas terbersit di benak bahwa buku ini akan membuat anak-anak menunjukkan keriangan yang sama.

Buku yang bertajuk Raising an Optimistic Child, sebagaimana kata pengarangnya, adalah untuk memberikan alat memahami sebab umum dan abadi dari depresi yang dialami anak. Meskipun karya ini diilhami dari temuan-temuan dalam psikologi, neorobiologi dan genetik, tapi sang penulis tidak menyediakan ruang yang besar untuk menjelaskan bagaimana teori-teori ini bekerja dan melihat dunia anak kecil, melainkan keduanya menitikberatkan pada bagaimana gagasan besar dalam dunia ilmiah itu diterjemahkan menjadi tindakan praktis sehari-hari.

Dengan bahasa yang bisa diakses pembaca secara umum, buku ini mengingatkan kita bahwa anak-anak sekarang terancam oleh perkembangan teknologi yang pesat. Namun demikian, dalam keadaan seperti ini, sebenarnya banyak unsur-unsur yang memungkinkan lahirnya generasi yang optimis dan mengalami kebahagiaan abadi yang otentik, persahabatan sejati dan pemenuhan kebutuhan yang sebagian besar bisa dimulai sejak usia enam tahun. Demikian juga terbuka kemungkinan bagi meruyaknya depresi, kecemasan dan banyak penyakit fisik, dari penyakit jantung hingga kencing manis.

Karya ini menyediakan informasi bagaimana orang tua dari anak kecil menciptakan kondisi yang membantu keberlangsungan optimisme dan mencegah depresi. Memang, bagi orang dewasa tidak terlalu susah untuk menghadapi hilangnya mood, dengan cara merubah cara mereka berpikir tentang sesuatu, namun pendekatan semacam ini tidak berlaku bagi anak kecil. Sejak dilahirkan hingga usia enam tahun, anak kecil justeru meniru bagaimana orang tua mereka berpikir dan mengekspresikan emosi. Otak anak kecil, jelas sang penulis, adalah sebuah alat perekam yang akan menyimpan setiap perilaku interaksi antara orang dewasa dan akhirnya digunakan untuk melakukan hal yang sama ketika dewasa.

Selanjutnya, kita akan diperlihatkan apa yang harus dilakukan terhadap anak kecil kita jika mereka tampak malas-malasan, titik awal depresi. Di sini orang tua seharusnya menilik kembali bagaimana menjadi orang tua yang optimistik. Paling tidak, ada enam faktor yang harus mendapat perhatian, yaitu orang tua mempunyai hubungan yang baik, meluangkan waktu dan penuh perhatian, bersikap empati dan konsisten, nilai-nilai bersama dan akses terhadap lingkungan alamiah yang penuh tantangan.

Selain orang tua melihat ke dalam, mereka juga perlu memahami hal apa yang menyebabkan buah hatinya terserang depresi. Dalam psikiatri, depresi bisa dimulai sejak dalam kandungan apabila sang ibu mengalami ketertekanan ketika sedang hamil. Tanda-tanda depresi anak meliputi perasaan, pikiran, fisik dan prilaku (lebih jauh lihat hlm. 27-28).

Pemicu ketertekanan anak itu sendiri ternyata bersumber dari dunia sekelilingnya, seperti depresi orang tua, pemisahan dari ibu pada masa awal kelahiran, perceraian atau konflik keluarga, kematian atau penyakit dari anggota keluarga, penderaan fisik, kurangnya penghargaan dan dorongan dan seterusnya (hlm. 30-31).

Setelah kita mengenali faktor orang tua, tanda-tanda dan pemicu depresi pada anak kecil, penulis memberikan langkah-langkah praktis untuk mengatasi semua itu, yang sebenarnya bisa dilakukan oleh pasangan normal. Bagian penting ini diletakkan pada bab ke dua.

Menariknya, upaya mengatasi depresi yang tertinggi adalah spirualitas. Ini didasarkan pada beberapa kajian terbaru, di antaranya Pusat Medik Universitas Duke di bawah pengayoman Profesor Harold Koenig, menunjukkan bahwa spiritualitas, dalam segala manifestasinya, berangkali merupakan anti-depresi yang paling ampuh. Tanpa nilai-nilai spiritual, kehidupan kita hampa, tanpa sebuah sistem kepercayaan, kita akan menjadi pecundang.

Lalu, apa kaitannya dengan anak kecil? Ternyata nilai-nilai spiritualitas merupakan sarana untuk mengukuhkan dan memasuki dunia batin yang damai, yang menjadi dasar bagi optimisme bagi orang tua dan sekaligus anaknya. Selain itu, ia juga menguatkan kebersamaan keluarga. Namun, sang penulis mengingatkan bahwa meskipun kebanyakan keluarga mempunyai kebiasaan dan adat, tetapi acapkali bukan ritual sejati. Dengan merujuk kepada pernyataan David Cortesi bahwa sebuah tindakan ritual hanya akan menjadi rutinitas jika tidak disertai kesedaran akan makna simbolik dan emosinya, buku ini menyuarakan hal yang sama dengan prinsip-prinsip keagamaan secara umum untuk tidak memisahkan agama dari ruh dan semangatnya.

Di sini, penulis memberikan pesan yang sebenarnya akrab dengan kita, yaitu meditasi, doa, ibadah, menghadiri tempat suci, menikmati alam sambil berjalan kaki, menjadi sukarelawan untuk kegiatan amal, memelihara binatang dan musik yang akan melonggarkan ketegangan orang tua yang diikuti tarian sang anak.

Meskipun buku ini ditujukan untuk orang tua, namun hakikatnya ia bisa dibaca juga oleh mahasiswa yang bisa menjadi ‘penyampai’ pesan untuk orang tua keponakannya dan tentu saja para pendidik di negeri ini agar tidak mengulang melahirkan generasi yang membuat bangkrut bangsa ini.


Judul Buku : Raising an Optimistic Child
Penjulis : Bob Murrah, Ph.D. dan Alicia Fortinberry
Penerbit : McGraw-Hill
Cetakan : 2006
Tebal : 239 halaman+ Indeks

Ahmad Sahidah Kandidat Doktor Ilmu Humaniora Universitas Sains Malaysia

No comments:

Puasa [17]

  Berhenti sejenak untuk membaca koran Jawa Pos , saya tetiba merasa lungkrah. Satpam kampus memutar lagu jiwang, pas Iklim dengan Hanya Sua...