Saya seringkali mengambil gambar dari objek yang terpampang di depan mata dalam sebuah perjalanan menuju ke sebuah tempat. Semua gambar itu menjadi bahan untuk perenungan. Nah, menyambut tahun baru ini, saya pun mencari-cari gambar apakah yang cocok dengan azam atau resolusi kali ini? Setelah memeriksa gambar yang disimpan dalam komputer, saya memilih gambar di atas sebagai azam. Tidak berlebihan, bukan?
Bagi saya, amalan hidup sehat itu mudah diucapkan, tetapi susah dilaksanakan. Kegiatan sukan, misalnya, adalah aktivitas fisikal yang dulu sering dilakukan, sekarang terabaikan. Ketika masih tinggal di Pulau Pinang, saya sering bermain bola di lapangan kampus USM. Tak hanya itu, kaki ini juga sering menapaki trek stadion di pagi hari, seraya berharap menikmati kokok ayam. Bahkan, di lain waktu, saya pun berlari menyusuri jalan beraspal untuk menemukan suasana baru. Untuk tetap cergas, saya pun menyiasati dengan berjalan kaki. Di UUM, saya sering mengayunkah langkah dari satu tempat ke tempat yang lain. Sekali waktu, saya memilih berjalan kaki dari kamar ke kantin, perpustakaan, ruang kuliah dan terjauh adalah varsity mall. Nah, yang terakhir ini memungkinkan saya menikmati jembatan yang di bawahnya sungai mengalir. Belum lagi, lorong panjang yang diatapi bumbung membuat saya bisa bernaung.
Lalu, bagaimana dengan pengelolaan stres? Mungkin, siapa pun hanya perlu menjaga bagaimana kesejahteraan itu bisa dirawat. Tak salah, kita merenungkan apa yang diungkap oleh Rita Manning, filsuf perempuan Amerika, bahwa kesejahteraan kita bergantung pada pemeliharaan hubungan-hubungan kita dan keterkaitan dengan semua jenis komunitas. Bagi saya, ketertekanan itu lahir dari kepongahan kita bahwa semua bisa dilakukan tanpa melibatkan orang lain. Hanya segelintir orang yang sanggup menjalani hidup sendirian. Tapi, bukankah seorang eksistensialis, seperti Muhammad Iqbal, akhirnya harus menanggung kesepian tak terperi?