Dulu,
video viral tentang santri yang menutup telinga ketika mendengar musik Barat
mengguncang khalayak. Ada banyak respons terhadap peristiwa ini, baik yang
berterima, bertanya, dan menyoal. Yenny Wahid meminta warga tidak mengecap
radikal atau kafir terhadap mereka. Tanpa memeriksa secara cermat, mungkin
sebagian orang akan mengaitkan sikap ini dengan Taliban, yang melarang musik.
Potret
santri di atas tentu tidak mencerminkan seluruh pandangan santri. Bagaimanapun,
salah satu sumber dari prilaku dan pemikiran kaum sarungan ini adalah kitab
kuning. Secara umum, kitab yang diajarkan di pesantren adalah tasawuf
(mistisisme), fikih, hadits, tarikh
(sejarah) dan Alqur’an. Sebagai mantan santri, saya belajar banyak jenis kitab
kuning tersebut di sebuah pesantren. Pemahaman secara ideal memang mesti
mendorong tindakan. Tetapi, pengertian terhadap teks itu rumit.
Fikih,
misalnya, mengulas ibadah dan muamalah (hubungan sosial dan ekonomi),
seperti diurai dalam Fathul Mu’in dan
Kifayatul Akhyar. Meskipun demikian, bab
jinayah (kejahatan) tidak mendorong
santri untuk memaksakan agar diterapkan, karena hukum potong tangan masih bisa
diperiksa kembali sesuai dengan konteks yang lebih luas. Apalagi, hubungan
patron-klien kiai santri yang didasarkan pada keadaban turut mewarnai prilaku
santri. Kebanyakan kiai memiliki pandangan moderat (tawazun).
Malah,
kaum santrilah yang berusaha untuk mengembangkan ekonomi Islam sebagai praktik nyata
dari bab muamalah. Namun tidak semua
pondok dan santri menggunakan bank tanpa bunga, tetapi juga turut menjadi nasabah bank konvensional. Perbedaan
terhadap hukum bunga bank ini sememangnya merupakan wujud dari ikhtilaf (Perselisihan) pendapat yang
sering ditemui dalam kitab fikih. Jika keanekaragaman mendapat tempat, maka
radikalisme adalah ideologi yang tidak tepat.
Kita
tidak bisa serta merta menolak kaitan Arab dengan prilaku teror, tetapi tidak
dalam hubungan kausalitas. Bagaimanapun, pelaku teror, yang sebelumnya bernama
bukan Arab, sering menggunakan nama kearab-araban untuk menunjukkan
eksistensinya. Bahkan struktur organisasi terorisme menggunakan istilah Arab
untuk menyebut daerah teritorial dengan mantiqi
dan sang pemimpin sebagai amir.
Kegagalan
mereka membedakan bahasa sebagai alat dan tujuan menyebabkan mereka mengaitkan
sebuah tindakan dengan perkataan secara tidak hati-hati. Seperti kata Lao Tse,
filsuf China, bahasa itu seperti jala, dan makna itu laksana ikan. Secara
hermeneutik, tafsir itu tidak berhenti pada bahasa semata-mata, tetapi pokok
persoalan yang menjadi dasar dari pesan utama.
Di
dalam tradisi Islam sendiri, keindahan surga bahkan tidak bisa digambarkan
dengan suara dan huruf. Tentu, abstraksi pada kesenangan itu merupakan tanda
simbolik, yang tidak mudah disampaikan pada khalayak luas. Kenikmatan bagi
orang awam lebih mudah dipahami dan dialami secara fisik. Sehingga, pahala
surga dan dosa neraka dilihat sebagai anugerah benda dan hukum fisik.
Dari
uraian di atas, kedudukan santri tentu berada pada posisi sebagai pencerah di
banyak lapisan masyarakat dalam memahami agama, yang tidak hanya didekati
dengan ilmu-ilmu keagamaan per se,
tetapi juga ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora). Dengan demikian, kepercayaan
seseorang dan masyarakat bisa diteliti sebagai fenomena sosial dan fakta
ekonomi-politik. Pendek kata, sikap keagamaan
itu sendiri bisa dilatari motif sekuler, bukan sakral.
Kehadiran
Taliban jelas membuka tabir ideologi keagamaan secara pragmatis. Kelompok
pelajar ini menjalin hubungan dengan Iran, negara bermayoritas Syiah. Padahal, sebelumnya
Taliban dikenal sangat kejam pada minoritas Hazara, penganut Syiah Afghanistan.
Belum lagi, hubungan mesra dengan Republik Rakyat China memperlihatkan bahwa
kekuasaan itu bisa membenarkan apapun, yang pada dasarnya corak keagamaan Taliban
berbeda secara diametral dengan RRC.
Bagaimanapun,
kesadaran kritis perlu dipupuk oleh kaum santri. Mereka tak semata-mata melihat
agama sebagai institusi kaku, tetapi dasar etis dalam bersikap dan bertindak
atas banyak isu. Forum Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA)
adalah organisasi santri yang memberikan advokasi pada warga yang berhadapan
dengan kuasa modal dalam merebut akses pada sumber alam dan tanah. Kehadirannya
adalah kepanjangan dari gagasan praktis fikih.
Dari
sini, radikalisme sejatinya merupakan sisi lain yang bisa diterima ketika dasar
keagamaan dipahami dalam pengertiannya yang radix,
asal kata radikalisme, yang bearti akar. Dengan pemahaman yang utuh terhadap
tujuan syariah, yakni untuk menjaga agama (al-din),
jiwa (al-nafs), harta (al-mal), keturunan (al-nasl), dan akal budi (al-‘aql),
sejatinya ajaran ketuhanan itu untuk menyelamatkan hidup manusia. Betapa absurd apabila perjuangan santri
mengartikan radikal sebagai menolak perbedaan, apalagi menggunakan kekerasan.
Akhirnya,
fikih yang dilihat sebagai ajaran resmi dalam sehari-hari harus dilihat dalam
kaitannya dengan iman dan akhlak. Menariknya, kata iman yang abstrak seringkali
dicontohkan dengan tindakan konkrit, semisal peduli pada orang lapar dan baik
dengan tetangga. Tentu, akhlak sebagai titik kiri bawah dari piramida
pokok-pokok keislaman merupakan seruan yang menjagai keseimbangan dari syariat.
Betapa puasa yang wajib (hukum) bisa diganti dengan memberi makan pada fakir
miskin (etika). Jadi kitab kuning dan bahasa Arab itu bukan tujuan, tetapi alat
untuk mewujudkan risalah Nabi, yakni menyempurnakan budi pekerti. Inilah tugas
santri.