Dr Ahmad Sahidah(Pengajar Peradaban Islam dan Asia, KDU College)
Salah satu keistimewaan Ramadhan adalah hari ke-17, peristiwa Nuzul Quran, turunnya kitab suci yang ditujukan bagi kemaslahatan manusia. Peringatan demi peringatan hadir untuk menyucikan kehadiran buku pedoman Muslim tersebut. Khotbah demi khotbah diperdengarkan untuk menyanjungnya sebagai kitab segala zaman. Tak ada seorang Muslim pun yang meragukan hal tersebut. Namun, para sarjana liberal menyoal kemutlakan tafsir terhadap teks (baca: nash) yang diterakan. Sementara pada waktu yang sama, para pembela 'makna' harfiah menggelorakan permusuhan pada pemahaman kontekstual, dengan menyebut gagasan mereka sebagai sesat, bidah, dan tak jarang divonis halal darahnya.
Perseteruan di atas bukan sesuatu yang baru. Para sahabat sendiri kadang berselisih paham tentang makna sebuah ayat. Padahal, mereka merupakan komunitas yang paling dekat dengan kehidupan Nabi dan bahu-membahu dalam mewujudkan sebuah masyarakat kenabian (prophetic society). Bisa dibayangkan, generasi selanjutnya akan semakin dihadapkan dengan kemungkinan perbedaan pembacaan karena mereka mengalami penjarakan yang cukup jauh. Lebih-lebih, yang terakhir ini tidak mengalami konteks ayat yang dipahami sehingga teks (baca: ayat Alquran) menjadi barisan huruf yang polisemi.
Petunjuk manusia
Telah diketahui umum bahwa Alquran diturunkan untuk menjadi petunjuk (hudan) bagi manusia. Namun, sebagaimana ditegaskan dalam surat Albaqarah (ayat 2-5), pedoman itu diperuntukkan bagi orang yang bertakwa (lilmuttaqin), yaitu orang yang beriman pada yang gaib, bersembahyang, dan mengeluarkan derma. Selain itu, mereka juga mempercayai kitab yang telah diturunkan pada nabi-nabi sebelumnya, Zabur, Taurat, dan Injil, serta meyakini adanya hari akhir (akhirat). Dengan petunjuk ini, manusia akan mendapatkan keberuntungan. Sekilas, susunan kalimat yang padat ini tampak terang benderang, namun hakikatnya ia mengandaikan sebuah uraian yang tidak ringkas.
Bagaimanapun, pemahaman terhadap ayat di atas tidak bisa diringkas menjadi satu kesimpulan, tanpa mengaitkan dengan ayat-ayat lain di dalam Alquran sehingga ditemukan satu pemahaman, yang mengandaikan satu pandangan hidup (weltanschauung). Relasi ayat dengan ayat lain adalah salah satu cara memahami pesan secara utuh. Di sinilah, para pembaca tak lagi terpaku pada satu penjelasan, namun juga dituntut untuk menemukan pengertian kata kunci, seperti gaib, shalat, akhirat di ayat lain. Pada akhirnya, dalam analisis semantik Toshihiko Izutsu, fokus kata tertinggi adalah Allah, yang menyinari seluruh pengertian semantik kata-kata penting di dalam Alquran.
Dari pendekatan di atas, pemahaman terhadap Alquran tak lagi bersifat atomik, sepotong-sepotong, tetapi tematik (maudhu'i), bersifat menyeluruh. Pemahaman seperti ini diharapkan akan memenuhi maksud 'Tuhan', meskipun tidak mutlak, tetapi mengandaikan pengertian yang seimbang. Dengan demikian, pengertian ketakwaan tak lagi dipandang sebagai sosok yang mengasyiki ibadah di rumah Tuhan, tetapi lebih jauh mencintai Tuhan dengan mencintai manusia. Adalah aneh jika ada segelintir orang membela Tuhan, tetapi pada masa yang sama menggelorakan kekerasan pada manusia atas nama tafsir kebenaran terhadap firman-Nya.
Skala prioritas
Sebenarnya, dari ayat yang menegaskan kitab suci sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa, siapa pun secara sederhana bisa mencerap isinya. Apakah lagi, dalam keseharian tanda-tanda ketakwaan itu mudah dilihat dan diamalkan. Malangnya, betapa banyak orang yang menyatakan diri Muslim, menunaikan shalat, berderma, dan percaya pada akhirat, namun kenyataannya, di negeri ini, keberuntungan sebagai manusia tak kunjung diraih. Tidakkah ini berarti manusia itu gagal mencerap makna sebagai orang bertakwa sehingga selalu dirundung kerugian?
Oleh karena itu, pemahaman terhadap ayat shalat dalam Albaqarah, misalnya, harus dikaitkan dengan surat Al-Ma'un, yang menegaskan kesia-siaan sembahyang tanpa disertai kepedulian terhadap orang-orang terpinggirkan, anak yatim, dan fakir-miskin. Pemahaman munasabah ayat bi al-ayah (hubungan antarteks) telah lama diperkenalkan dalam ilmu-ilmu Alquran. Namun, sayangnya, kebanyakan proses pembelajaran keagamaan menekankah tanda kesalehan pada ibadah tertentu (shalat) dan mengabaikan ibadah lain (derma). Celakanya lagi, kalaupun yang terakhir ditekankan, sikap kedermawanan lebih ditegaskan sebagai bentuk keprihatinan karikatif, yaitu dorongan untuk memberi sedekah, zakat, dan infak hanya sebatas kewajiban itu sendiri.
Falsafah filantropi dalam dunia Islam belum menjadi sebuah kesadaran Muslim. Sehingga, mereka gagal memahami makna tersirat dari kewajiban menyantuni orang papa dan pada masa yang sama menyucikan harta. Tujuan dari sikap dermawan itu adalah bukan pada keutamaan tangan di atas (metafor memberi) semata-mata, tetapi bagaimana tetangga tidak 'kelaparan'. Demikian pula, menyucikan harta bukan berarti jalan pintas untuk membersihkan kekayaan yang diperoleh dari penyalahgunaan kekuasaan, misalnya. Lebih jauh, keduanya bisa dipahami bagaimana kedermawanan itu menyelesaikan masalah kemiskinan dan mendorong manusia untuk selalu menimbang cara pemerolehan harta yang baik. Oleh karena itu, gagasan zakat produktif adalah layak untuk dikembangkan.
Sekarang, betapa sangat erat kaitan shalat, yang mengandaikan hubungan manusia-Tuhan, dengan kepedulian sosial, yang memperlihatkan relasi harmonis antarmanusia. Kesempurnaan satu kewajiban mengandaikan pelaksanaan kewajiban lain adalah suatu pandangan yang tidak memisahkan antara hak Tuhan dan hak manusia. Lalu, apakah mungkin mewujudkan hubungan ideal ini tanpa otoritas dan kekuasaan? Di sinilah, pangkal perseteruan kelompok di atas bermula. Apakah ajaran agama itu bersifat ideal-etik atau empiris-praktik?
Betapa pun keduanya berbeda mengenai cara bagaimana mewujudkan sebuah hubungan ideal manusia dengan Tuhan dan manusia dengan sesamanya, sejatinya, keduanya mengandaikan sebuah ide pembebasan. Harus diakui model keduanya sama-sama dianjurkan dalam kitab suci. Masalahnya, keduanya enggan untuk bertemu dan mencari jalan tengah. Padahal, pada masa yang sama, kitab suci mengandaikan pembacaan yang terakhir sebagai jalan keluar dari sifat ideal dan kenyataan yang selalu mengalami ketegangan.
(-)
Sumber:
Republika, 5 September 2009